Jakarta, Gatra.com - Pembentukan tim likuidasi atas kasus PT Wanaartha Life (PT WAL) telah disetujui Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sejak akhir Desember 2022. Menanggapi hal ini, Ketua Konsorsium Aliansi Korban Wanaartha, Johanes Buntoro, mengatakan bahwa pihaknya tidak menolak pembentukan tim likuidasi, melainkan menolak proses dan keterpilihan anggota tim yang tidak melalui keterbukaan.
"Kami menegaskan, kami tidak menolak pembubaran Wanaartha, kami juga tidak menolak tim likuidasi, jangan sampai dibenturkan. Yang kami persoalkan saat ini adalah, orang yang ditunjuk oleh pemegang saham pengendali, buronan interpol, sudah disahkan dari Desember," ujarnya dalam konferensi pers di Kantor PT WAL, Jakarta, Jumat (20/1).
Sebagai informasi, Kepala Eksekutif Pengawas Industri Keuangan Non Bank (IKNB) OJK, Ogi Prastomiyono menyatakan bahwa pihaknya telah menindaklanjuti proses pembubaran badan usaha dan pembentukan tim likuidasi Wanaartha Life pasca-pencabutan izin usaha pada 5 Desember 2022 lalu. Dalam hal ini, OJK telah menerima dokumen Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) yang diselenggarakan secara sirkuler dan ditandatangani oleh seluruh pemegang saham.
Padahal, saat ini, ketiga pemegang saham masuk dalam daftar buronan dan telah diterbitkan red notice untuk ketiganya. Bareskrim Polri telah menetapkan tujuh orang tersangka terkait kasus PT WAL, termasuk pemegang saham pengendali dan keluarganya, yaitu Manfred Armin Pietruschka, Evelina Fadil Pietruschka, dan Rezanantha Pietruschka.
Johanes mencurigai bahwa orang yang ditunjuk merupakan kepanjangan tangan dari pemegang saham. Sebab, prosesnya dilakukan diam-diam dan tidak melibatkan jajaran direksi maupun pemegang polis.
"Hanya bilang sudah diputuskan dengan rapat sirkuler, saya sudah cek, itu diam-diam. Pantas nggak seperti itu?" lanjutnya.
Ia kembali menegaskan bahwa seharusnya, pelaksanaan RUPS dilakukan secara transparan sesuai dengan aturan OJK. Namun, dalam kasus ini, pembentukan tim likuidasi justru tidak menerapkan itu.
Pihaknya akan mengambil sikap menolak anggota tim likuidasi yang telah ditunjuk. Ia turut meminta pemerintah turun tangan dalam menangani kasus yang diproyeksi merugikan pemegang polis hingga Rp 15 triliun.
"Kalau perlu sekarang yang turun tangan pemerintah. (Kasus ini) bukan gagal bayar, tapi penggelapan, uangnya ada di mana? Harus diusut ke aset buronan. Kami menuntut dari pemerintaha dan perwakilan kami yang kompatibel, yang kami percaya," ujarnya.
Selain itu, Johanes juga meminta audiensi dengan pihak pemerintah, termasuk Komisi XI Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), OJK, serta Kemenkeu. Hal ini dilakukan agar kasus bisa diselesaikan secara terang dan hak-hak korban bisa kembali.
"Kami minta supaya dengar kami, temuilah kami pemegang polis. Kami minta audiensi, kami sampaikan supaya kita terbuka apa yang terjadi soal ini, supaya mereka bisa mengambil keputusan untuk memberikan tim likuidasi orang-orang yang benar bisa menarik uang, aset kami," pungkasnya.
Sebelumnya, pada Senin (9/1) lalu, salah satu anggota tim likuidasi, Harvardy, mengaku bahwa OJK telah memberi izin dan anggota tim likuidasi lainnya untuk mulai bekerja setelah diminta menunjukkan dokumen asli ke OJK pada Jumat (6/1) lalu. Adapun tim likuidasi tersebut terdiri dari dua orang yakni Harvardy M. Iqbal sebagai pemimpin likuidasi dan Sherly Anita sebagai anggota tim likuidasi.