Oleh: Rendy Saputra*
Konsensus negara demokrasi telah memastikan penyelenggaraan Pemilihan Umum (Pemilu) sebagai salah satu indikator yang mutlak dijalankan. Dan di negara kita, Pemilu merupakan bagian integral-historis dari pelaksanaan sistem ketatanegaraan kita. Arti penting penyelenggaraan Pemilu bahkan dimasukkan dalam kerangka konstitusional.
Perubahan ketiga Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 telah menambah (adendum) dasar penyelenggaraan Pemilu pada BAB VII B sebagai bahasan tersendiri. Pasal 22 E menyatakan; Pemilihan Umum dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil (Luber, Jurdil) setiap lima tahun sekali. Sehingga tidak ada alasan konstitusional yang akan menunda bahkan menghapus penyelenggaraan Pemilu di Indonesia.
Lebih lanjut ketentuan Pasal 1 angka 1 Undang-undang 7 Tahun 2017 menyebutkan bahwa Pemilihan Umum adalah sarana kedaulatan rakyat untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, anggota Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presiden, dan untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, yang dilaksanakan secara langsung, jujur, dan adil dalam negara kesatuan Republik Indonesia.
Karena itu sebagai sarana kedaulatan rakyat, rakyat termasuk didalamnya anak-anak muda harus bertindak untuk terlibat sebagai subyek yang memandang bahwa pemilu bukan sekedar ajang seremonial politik 5 tahunan belaka dan menafikan partisipasimya sebagai pemilik daulat. Partisipasi rakyat pada Pemilu merupakan bagian integral dari penyelenggaraan Pemilu sesuai asasnya yang bersifat langsung.
Sehingga menjadi sangat substansial terkait pentingnya partisipasi politik rakyat dalam proses penyelenggaraan Pemilu. Sebab, sejatinya Pemilu adalah sarana konversi suara rakyat. Atas dasar suara rakyat itulah, Pemilu menghasilkan pejabat legislatif (DPR, DPD, DPRD) dan eksekutif (Presiden-Wakil Presiden dan kepala daerah).
Oleh karena itu untuk menjamin hasil pemilu yang baik dan berkualitas, proses penyelenggaraannya haruslah memenuhi derajat yang berkualitas pula. Hal ini artinya setiap tahapan pemilu harus diupayakan dan dipastikan untuk dilakukan dengan jujur dan adil, untuk melindungi suara rakyat. Sebab dari sanalah legitimasi dari proses dan hasil pemilu dapat diukur. Oleh karena itu, setiap tahapan pemilu harus dijalankan dengan etis dan harus mencerminkan partisipasi politik rakyat yang sebenar-benarnya.
Pentingnya anak muda dalam pemilu
Pemuda bukan hanya masa depan, mereka juga merupakan bagian penting dari saat ini. Pemuda merupakan komponen vital dalam proses pemilu dan partisipasi mereka sangat esensial untuk kepercayaan, inklusivitas, dan legitimasi pemilu. Generasi muda merupakan generasi yang akan membawa perubahan dan inovasi di masa depan, namun mereka juga memiliki peran yang penting saat ini. Akan tetapi peran penting tanpa kesadaran disertai partisipasi politik yang aktif tentu saja akan menjadi sebuah kesia-siaan.
Berdasarkan data proyeksi penduduk Indonesia 2015-2045 yang disusun oleh Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) jumlah penduduk Indonesia diperkirakan mencapai 318,9 juta jiwa pada 2024. Dari jumlah tersebut, sebanyak 21,73 juta penduduk berusia 15-19 tahun dan sebanyak 21,94 juta penduduk berada direntang usia 20-24 tahun. Kemudian, penduduk berusia 24-29 tahun dan 30-34 tahun masing-masing sebanyak 21,73 dan 21,46 juta orang lau sebanyak 21,04 juta orang berada di rentang umur 35-39 tahun.
Lebih lanjut Centre for Strategic and International Studies (CSIS) pun memperkirakan bahwa Pemilu 2024 akan didominasi generasi X dan milenial yang berada di rentang usia 17-39 tahun. Berdasarkan hasil survei CSIS, jumlah kedua generasi tersebut mendekati 60 % dari total pemilih.
Angka diatas menunjukkan bahwa dari sisi jumlah, pemuda akan bertindak sebagai pemilih mayoritas serta tentu saja akan menjadi pihak yang menentukan dalam pemilu 2024 dan bahkan bisa jadi kunci dalam menciptakan atmosfer penyelenggaraan yang demokratis. Tentu saja jika potensi ini bisa dimaksimalkan melalui tingkat partisipasi politik yang maksimal, maka pemuda bisa menjadi menjadi pemain kunci dalam peyelenggaraan pemilu mendatang.
Ramlan Surbakti (2010:1180) mengartikan partisipasi politik sebagai keikutsertaan warga negara biasa dalam menentukan segala keputusan yang menyangkut atau mempengaruhi hidupnya. Anggota masyarakat yang berpartisipasi dalam proses politik terdorong oleh keyakinan bahwa melalui kegiatan itu, kebutuhan dan kepentingan mereka akan tersalur, atau sekurang-kurangnya diperhatikan, dan mereka sedikit banyak dapat mempengaruhi tindakan-tindakan pemerintah untuk mengambil keputusan-keputusan yang mengikat.
Partisipasi politik pemuda merupakan salah satu kunci suksesnya pelaksanaan pemilu 2024. Dalam praktiknya, partisipasi politik pemuda dalam penyelenggaraan pemilu dapat dilakukan dengan beberapa cara. Pertama, menjadi Pemilih: pemuda dapat memainkan peran penting sebagai pemilih.
Dengan memahami isu-isu yang dipertaruhkan dalam pemilu dan mengetahui hak-hak pilih mereka, pemuda dapat membuat pilihan yang informatif dan berkontribusi terhadap proses pemilu.
Kedua, menjadi penyelenggara pemilu: pemuda dapat berpatisipasi menjadi penyelenggara pemilu ditingkat daerah hingga desa/kelurahan. Ketiga, menjadi kandidat: pemuda dapat berpartisipasi secara langsung sebagai calon anggota legislatif dari pusat sampai daerah.
Ini akan memberikan kesempatan untuk membuat perbedaan dalam politik dan memperjuangkan isu-isu penting bagi generasi muda. Keempat, menjadi tim pemenangan salah satu calon pejabat legislatif maupun eksekutif: dengan menjadi tim pemenangan, pemuda akan memperoleh pengalaman tentang dinamika politik dan kepemiluan yang nantinya akan berguna untuk proses pendewasaan berdemokrasi.
Kelima, berpartisipasi menjadi bagian dalam organisasi pemantauan pemilu: pemuda bisa secara mandiri maupun bergabung bersama kelompok civil society untuk melakukan pemantauan pada setiap tahapan pemilu yang sedang berjalan agar bisa berlangsung secara jujur dan adil.
Meski sudah menjadi konsensus luas bahwa kaum muda memiliki peran penting dalam proses politik, tetapi partisipasi politik pemuda selalu menjadi isu sensitif dalam proses pemilu. Hal ini disebabkan karena masih adanya pandangan yang kurang positif terhadap kaum muda seperti dianggap kurang matang dan tidak cukup berpengalaman dalam mengambil keputusan.
Meski faktanya kaum muda saat ini telah menunjukkan kesadaran dan kapasitas yang tinggi dalam berpolitik, sehingga perlu adanya upaya yang lebih serius untuk mendorong partisipasi politik kaum muda agar dapat ikut serta secara aktif dalam proses pemilu dan pengambilan keputusan politik. Hal ini tentu saja akan memperkuat demokrasi kita dan memastikan bahwa kebijakan yang diambil sesuai dengan kebutuhan dan aspirasi pemuda.
Pengawasan Partisipatif Pemuda
Dalam praktiknya, Pemilu memiliki banyak kendala dan batasan untuk mendorong proses partisipasi masyarakat terutama kaum muda. Batasan-batasan tersebut diantaranya adalah batasan peraturan, keterbatasan pengetahuan, pemetaan stakeholder, penjadwalan, anggaran, serta teritori atau wilayah yang menyulitkan. Sejumlah batasan tersebut jika tidak mampu diatasi, justru menjadi kontra produktif untuk mendorong partisipasi politik rakyat.
Sehingga menjadi penting melakukan berbagai cara mendorong penguatan partisipasi rakyat. Sebab faktanya, partisipasi pemuda dalam Pemilu selama ini sekedar dimaknai secara terbatas yakni cukup dengan hanya memberikan hak pilihnya pada hari pemungutan suara di TPS.
Memang benar, dalam penyelenggaraan Pemilu stakeholder yang memainkan peran utama adalah peserta Pemilu, panitia/ penyelenggara Pemilu, peran pemerintah, dan para pemodal. Yang terakhir perlu disebutkan karena terkait dengan maraknya fenomena politik transaksional dalam Pemilu.
Mereka inilah yang dengan sadar memiliki kepentingan secara langsung atas hasil Pemilu dan memiliki kemampuan untuk mempengaruhi proses Pemilu. Kemudian ada juga kelompok lain yang memiliki peranan penting pada Pemilu yaitu media massa, lembaga peradilan, pemantau, tokoh publik dan lembaga polling atau survey. Kelompok-kelompok ini dinilai cukup berperan secara independen atas proses atau hasil Pemilu.
Di luar itu, pemuda sebagai pemilih mayoritas tentu harus mengambil peran penting dan memaksimalkan partisipasi politiknya dalam proses pemilu. Hal ini karena hak konstitusionalnya dijamin dalam sistem kepemiluan.
Meski secara praktik pemuda selama ini sebagaian besar menjadi tidak lebih dari sekedar pihak yang seringkali dimobilisasi dalam Pemilu. Namun itu tidak berarti bahwa pemuda tidak memiliki peran signifikan dalam proses pemilu. Sebaliknya pemuda harus memahami isu-isu yang dipertaruhkan dalam pemilu.
Dalam perspektif kepemiluan, anak muda masuk pada stakeholder yang penting. Jumlahnya menjadi bagian terbesar dari stakeholder pemilu yang lain. Dan karenanya pelayanan yang baik kepada mereka dinilai mewakili capaian substantif dari penyelenggaraan Pemilu. Menjadi nampak logis jika pada Pemilu era reformasi selalu dikampanyekan pentingnya pemilih yang aktif, kritis dan rasional.
Hal ini adalah respon terhadap praktik Pemilu era Orde Baru yang mereduksi makna dan implementasi partisipasi politik. Salah satu rekomendasi dari pelaksanaan Pemilu jurdil selain diarahkan kepada terbebasnya kepentingan penguasa atas hasil Pemilu, perbaikan dan keterbukaan atas sistem Pemilu, perlunya penyelenggara yang independen juga diarahkan kepada upaya mendorong keterlibatan masyarakat pemilih untuk lebih aktif, kritis dan rasional dalam menyuarakan kepentingan politiknya.
Pengawasan partisipatif merupakan bagian dari partisipasi rakyat termasuk para pemuda dalam pemilu. Ide pengawasan partisipatif muncul karena adanya kesadaran akan perlunya selalu membuka ruang bagi partisipasi rakyat dalam setiap proses politik di republik ini. Landasan berpikirnya adalah semakin suatu peristiwa politik diwarnai partisipasi publik yang tinggi dan terjadi di berbagai tahapan, maka proses politik tersebut semakin mendekati demokrasi yang ideal.
Dengan demikian, harapan akan terciptanya pemilu berkualitas, yakni pemilu yang jujur dan adil, dapat terwujud. Inilah sebuah ikhtiar dalam rangka membangun kualitas demokrasi yang lebih baik guna memastikan terciptanya demokrasi yang terkonsolidasi.
Namun demikian, partisipasi politik dari pemuda dalam melakukan pengawasan pemilu tidak mungkin bisa muncul secara massif dengan sendirinya. Terdapat beberapa hal yang menjadi kendala yang ada di masyarakat sebagaimana diatas seperti kendala terbatasnya akses informasi terkait proses serta hak-hak mereka sebagai pemilih, batasan-batasan peraturan, serta kondisi wilayah yang menyulitkan untuk berpartisipasi.
Karena itu, perlu ada penguatan masyarakat. Dengan kata lain, diperlukan langkah dan terobosan nyata yang merupakan implementasi dari gagasan pengawasan partisipatif ini. Dengan program nyata ini, berbagai kendala yang menghambat keinginan pemuda untuk berpartisipasi aktif dapat diminimalisir atau bahkan dihilangkan.
Sebagai langkah awal, perlu ada dorongan atau inisiasi dari institusi yang memiliki berbagai sumber daya yang memadai dan memungkinkan harapan ini dapat mengejawantah menjadi suatu program aksi.
Bawaslu sebagai lembaga yang memiliki mandat pengawasan telah membuat terobosan dengan membentuk Gerakan Partisipatif Pengawas Pemilu (Gempar Pemilu) lalu kemudian menginisiasi Sekolah Kader Pengawasan Partisipatif (SKPP) sebagai bentuk pelibatan anak muda dalam pengawasan pemilu agar kedepan semakin banyak pihak yang mengetahui tugas, pokok, dan fungsi pengawasan pemilu sehingga jumlah masyarakat pemilih yang terlibat dalam proses pemilu semakin meningkat.
Namun sekedar mengandalkan peran dan kinerja lembaga-lembaga negara (KPU dan Bawaslu) sembari berpangku tangan mengamati jalannya proses pemilu 2024 bukanlah pilihan bijak bagi anak-anak muda. Sudah waktunya anak muda mulai mentransformasikan gerakan moral (moral force) menjadi gerakan sosial (social movement).
Pemuda dengan segala segmennya (baik individu warga negara, organisasi kemasyarakatan pemuda, maupun kelompok-kelompok sosial bahkan kelompok bisnis) perlu bersinergi, bahu membahu untuk turut mengawasi dan mengawal proses penyelenggaraan pemilu 2024 dengan tidak sekedar hadir memberikan suara di TPS nanti.
Tapi juga terlibat melakukan pemantauan terhadap proses pemilu yang dilakukan dengan cara bergabung menjadi relawan lembaga pemantau pemilu yang telah diakreditasi oleh Bawaslu seperti Koalisi Independen Pemantau Pemilu (KIPP) serta organisasi pemantauan pemilu lainnya. Sehingga ke depan jumlah anak muda yang terlibat dan mengorganisir diri dalam kerja-kerja pengawasan partisipatif bisa berlipat ganda.
Pada akhirnya besarnya jumlah anak muda dalam pemilu 2024 nanti diharapkan berbanding lurus dengan menguatnya kesadaran serta tanggung jawab pemuda dalam berpartisipasi aktif dalam pemilu. Karena kerja kolaboratif semua pihak termasuk anak muda dalam pengawasan pemilu 2024 akan menjadi kunci suksesnya penyelenggaraan Pemilu 2024. Semoga.
*Advokat dan Ketua Komite Independen Pemantau Pemilu Kota Baubau, Buton, Sulawesi Tenggara