Jakarta, Gatra.com - Presiden Joko Widodo (Jokowi) memberikan pernyataan terkait pelanggaran hak asasi manusia (HAM) di masa lalu pada Rabu (11/1) pekan lalu. Namun, Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid menilai bahwa hal itu belum mampu memenuhi keadilan bagi korban pelanggaran HAM berat.
"Pekan lalu Presiden memberi pernyataan negara, bahwa dia mengakui dan menyesali pelanggaran HAM berat, 12 kasus. Dari seluruh peristiwa yang disebutkan, kita bisa mengukur apakah pengakuan itu pengakuan yang tulus, menyeluruh. Apakah penyesalan akan mengobati rasa keadilan dan memenuhi tuntunan massa aksi Kamisan?" ujar Usman di hadapan massa aksi Kamisan di depan Istana Negara, Kamis (19/1).
Dua belas kasus yang disebut Jokowi di antaranya Peristiwa 1965-1966; Peristiwa Penembakan Misterius 1982-1985; Peristiwa Talangsari, Lampung 1989; Peristiwa Rumoh Geudong dan Pos Sattis, Aceh 1989; Peristiwa penghilangan orang secara paksa 1997-1998; Peristiwa Kerusuhan Mei 1998; Peristiwa Trisakti dan Semanggi I-II 1998-1999; Peristiwa pembunuhan dukun santet 1998-1999; Peristiwa Simpang KKA, Aceh 1999; Peristiwa Wasior, Papua 2001-2002; Peristiwa Wamena, Papua 2003; serta Peristiwa Jambo Keupok, Aceh 2003.
Baca Juga: Peringatan 16 Tahun Aksi Kamisan, Tuntut Pengungkapan Kebenaran
Menurut Usman, masih banyak peristiwa lain yang belum termasuk di dalamnya. "Banyak yang tidak disebutkan, Timor Timur tidak, padahal betapa keji dan kejam pasukan keamanan ketika itu," ucapnya.
Usman mengaku telah mendengar kesaksian langsung dari para korban yang menyatakan dirinya menerima perlakuan tidak adil dari pihak militer.
"Saya berkenalan dengan seorang ibu. Ia menjadi korban karena mengumumkan bahwa Presiden Habibie membolehkan Timor Timur menentukan nasib sendiri. Ia korban perkosaan, diseret Jeep keliling kota supaya yang lain tidak melakukan hal sama," katanya.
Baca Juga: Keluarga Korban Kasus Pelanggaran HAM Tuntut Pertanggung Jawaban Pemerintah
Usman menilai pengusutan kasus harus dilakukan demi membawa perbaikan untuk Indonesia. Dengan mempelajari kesalahan di masa lalu, kesalahan yang sama bisa dihindari.
Ia juga mempertanyakan bagaimana bentuk pertanggungjawaban pemerintah usai memberikan pernyataan adanya 12 kasus pelanggaran HAM berat. Tanpa kata maaf dan pengusutan kasus, ia menilai hal itu masih tidak menunjukkan upaya serius pemerintah dan negara dalam penegakan HAM.
"Yang lebih penting dari sekadar pengakuan adalah mengapa itu terjadi? Mengapa tidak ada petanggung jawaban? Pertanyaan itu membutuhkan pengungkapan jawaban," tegasnya.
Baca Juga: Pegiat HAM: 16 Tahun Aksi Kamisan Mempersatukan Kita Kembali
Usman menuntun pemerintah untuk segera menindaklanjuti 12 kasus HAM berat yang sudah diumumkan. Dengan begitu, pemerintah benar-benar hadir dan menuntaskan perannya dalam memenuhi tanggung jawab.
"Bukan hanya mengakui, menyesali, tapi juga meminta maaf dan mengembalikan [keadilan]. Kalau negara mengaku salah, kenapa salah? Apa yang salah? Siapa yang salah? Itu yang harus dimintai pertanggungjawaban. Pernyataan Presiden Jokowi pekan lalu tidak ada artinya tanpa ada pertanggungjawaban," pungkasnya.