Jakarta, Gatra.com – Peringatan 16 Tahun Aksi Kamisan menjadi momen untuk menyuarakan penyelesaian kasus pelanggaran hak asasi manusia (HAM). Pengajar Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera, Bivitri Susanti, mengatakan bahwa aksi ini menjadi upaya untuk membuka kebenaran.
"[Pada] 16 tahun aksi kamisan, 760 kali kita ada di sini. Dua presiden, empat masa pemerintahan, tapi korban sudah dapat apa? Apa yang didapat korban selain pengakuan? Pengakuan ya oke-oke saja, tapi bukan itu intinya," ujarnya saat berorasi di hadapan massa aksi di Istana Negara, Jakarta, Kamis (19/1).
Baca Juga: Peringati 16 Tahun Aksi Kamisan, Massa Gelar Aksi Diam
Bivitri menerangkan bahwa kebutuhan korban adalah untuk mengungkap kebenaran. Pelanggaran HAM berat di masa lalu, harus dibuka seterang-terangnya demi membawa keadilan bagi korban.
"Penyelesaian pelanggaran HAM berat masa lalu adalah memberi keadilan bagi korban, bukan sekadar pengakuan, bukan sekadar santunan," lanjutnya.
Menurutnya, langkah pemerintah yang ingin memberikan santunan kepada korban kurang tepat menjadi prioritas penanganan kasus pelanggaran HAM berat. Ia kembali menekankan bahwa pengungkapan kebenaran merupakan hal yang seharusnya dilakukan.
"Kita harus bicara pengungkapan kebenaran, yang kita cari di sini, yang harusnya dibongkar terlebih dahulu adalah kebenarannya dulu, diluruskan," ucapnya tegas.
Sebagai negara hukum, ia menilai bahwa penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat di masa lalu menjadi syarat pembangunan menuju negara hukum yang ideal. Tanpa itu, maka segala tuntunan masih akan menjadi hal-hal yang terus terjadi tanpa penyelesaian yang jelas.
Namun, ia tidak kehilangan harapan untuk berjuang demi keadilan bagi korban. Apa yang selama ini dilakukan, merupakan bentuk upaya agar negara segera bertindak.
Baca Juga: Suci Hentikan Aksi Kamisan, Jika Ada Pengadilan HAM
"Saya ada di sini karena saya ingin berharap, bukan berharap pada penguasa. Kita brharap soal keadilan pada korban," ujarnya.
Aksi Kamisan kali ini merupakan aksi ke-760 sejak pertama kali digelar pada 2007 lalu. Dalam upaya menuntut penegakan HAM, aksi ini terus digelar agar pemerintah bisa bertanggung jawab untuk menuntaskan kasus pelanggaran HAM yang terjadi di masa lalu hingga saat ini.