Jakarta, Gatra.com - Aparat penegak hukum, salah satunya Polri mengedepankan keadilan restorasi atau restorative justice (RJ) dalam menangani perkara yang dilaporkan masyarakat. Namun, upaya itu dinilai telah dimanfaatkan untuk kepentingan tertentu.
"RJ malah menjadi alasan legalisasi praktik-praktik jual beli pasal oleh penyidik kepolisian," kata pengamat kepolisian Bambang Rukminto saat di konfirmasi, Selasa, (17/1).
Bambang mengaku sering menyampaikan indikasi itu. Malah, sejak awal restorative justice digulirkan Polri di era Kapolri Jenderal Tito Karnavian.
Menurut Bambang, hal itu terjadi karena petunjuk pelaksana (juklak) restorative justice tidak atau belum dipahami anggota Polri di level bawah. Kemudian, praktik-praktik jual beli perkara sudah ada sejak lama.
"Diskresi penyidik tanpa kontrol dan pengawasan yang ketat, sekaligus minim akuntabilitas menyebabkan praktek jual beli perkara dengan alasan RJ menjadi hal yang biasa dan jamak dilakukan," ujar Bambang.
Dia meminta Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo mengidentifikasi permasalahan tersebut. Kemudian, menutup celah-celah dari permasalahan itu agar tidak kembali terjadi.
"Dan itu tidak bisa dipecahkan hanya statement atau seremoni-seremoni saja. Apalagi cuma sekadar "wayangan" tanpa ada langkah-langkah nyata terkait penerbitan juklak, kontrol dan pengawasan," tuturnya.
Sebelumnya, anggota Komisi III Adang Darajatun mengungkapkan ada praktik jual-beli penyelesaian perkara melalui restorative justice. Anggota dewan Fraksi PKS itu menyampaikan ini dalam rapat kerja dengan LPSK di Kompleks DPR, Senayan, Jakarta.
"Karena saya lihat di lapangan ini restorative justice ini udah mulai jual-menjual," kata Adang, Senin, (16/1).
Adang tak ingin praktik dugaan jual beli restorative justice membuka kesempatan kepada masyarakat berekonomi tinggi untuk 'membeli keadilan'. Dia meminta LPSK ketat memantau penanganan restorative justice tersebut.
"Saya minta kedalaman. Ini enggak main-main ya," kata mantan Wakapolri itu.