Jakarta, Gatra.com - Keterbatasan sumber daya manusia menjadi salah satu persoalan bagi Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LSPK) sepanjang 2022 lalu. Ketua LPSK, Hasto Atmojo mengatakan bahwa salah satu upaya menanganinya dilakukan dengan program perlindungan saksi dan korban berbasis komunitas yang disebut Sahabat Saksi dan Korban.
"Karena keterbatasan sumber daya manusia dan anggaran, harus kreatif. Kita buka partisipasi seluruh masyarakat, tentu yang jadi mandat utama LPSK tidak bisa (dikerjakan komunitas)," ujarnya saat ditemui usai diskusi bertajuk "Menembus Batas, Refleksi Kerja Perlindungan 2022, Membangun Lompatan di 2023" di Kantor LPSK, Jumat (13/1).
Sejauh ini, terdapat tujuh wilayah yang telah menjalankan program ini. Tahun ini, ia menargetkan penambahan wilayah lain untuk menerapkan ini.
"Di Jawa sudah, selanjutnya mungkin di daerah yang lebih remote seperti Maluku, Sulawesi Utara, Sumatera Barat, serta Kalimantan Barat. Kami tidak target angka tapi target perluasan wilayah," ujarnya.
Pada 2022, terpilih 514 orang yang menjadi Sahabat Saksi dan Korban. Seluruh yang terpilih melalui tahapan sosialisasi, serta pendidikan dan latihan (diklat) sebelum akhirnya dikukihkan sebagai anggota.
Hasto mengatakan bahwa Sahabat Saksi dan Korban bertujuan untuk membantu LPSK. Dengan luasnya wilayah yang ada di Indonesia, keberadaannya diharapkan mamph mempermudah akses masyarakat untuk mendapatkan keadilan.
"Dari 7.777 permohonan perlindungan tahun ini, 1000 lebih tidak bisa ditindaklanjuti. (Keberadaan) mereka bisa membantu sejak awal laporan, dan bisa memperpendek waktu penelaahan di kita. Kalau misalnya ada upaya pemulihan yang perlu kita lakukan didaerah, mereka juga bisa jadi pendamping," terangnya.
Untuk itu, pemantapan dan pengembangan kegiatan ini disebutnya menjadi prioritas di tahun 2023. Ia menilai bahwa ukungan kerja perlindungan dan pemulihan LPSK diperlukan, sehingga kinerja LPSK bisa optimal.