Jakarta, Gatra.com - Wakil Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) Susilaningtyas, mengatakan bahwa kasus terorisme merupakan salah satu dari kasus yang banyak ditangani LPSK sepanjang 2022 lalu. Total 953 terlindung di tahun ini, meningkat 7,56% dari tahun lalu.
"Kasus Astana Anyar salah satu saja dari kasus terorisme. Kita banyak sekali kasus terorisme. Dari 886 terlindung kita di 2021, meningkat di 2022 menjadi 953 terlindung. Kenapa meningkat? Tidak hanya peristiwa terorisme tapi ada juga faktor lain berkaitan dengan Undang-Undang Nomor 5 tahun 2018," ujarnya dalam diskusi bertajuk "Menembus Batas, Refleksi Kerja Perlindungan 2022, Membangun Lompatan di 2023" di Kantor LPSK, Jumat (13/1). Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2018 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme
Berdasarkan Undang-Undang (UU) Nomor 5 Tahun 2018 tentang Tindak Pidana Terorisme, Pasal 33 mengatakan bahwa Penyidik, penuntut umum, hakim, advokat, pelapor, ahli, saksi, dan petugas pemasyarakatan beserta keluarganya dalam perkara Tindak Pidana Terorisme wajib diberi pelindungan oleh negara dari kemungkinan ancaman yang membahayakan diri, jiwa, dan/atau hartanya, baik sebelum, selama, maupun sesudah proses pemeriksaan perkara. Ini menjadi salah satu faktor meningkatnya terlindung dalam kasus terorisme.
"Adalah kewajiban negara untuk memberikan perlindungan yang dibebankan kepada LPSK, itu yang kemudian membuat terlindung LPSK meningkat. Awalnya, perlindungan hanya diberikan kepada korban, baru sejak akhir 2021 sampai 2022 ada lain yang dilindungi," paparnya.
Di sisi lain, Susi menerangkan bahwa keterlibatan saksi, korban, hingga saksi tersangka diperlukan dalam membantu mengatasi perkara. Namun, ia melihat bahwa terdapat tantangan dalam mewujudkannya.
"Ada tantangan berkaitan dengan ideologi karena sepanjang akhir 2021 sampai 2022, banyak saksi yang kita lindungi adalah tersangka tindak pidana terorisme. Kita punya usaha yang agak berat untuk meyakinkan mereka bersaksi di persidangan negara yang menurut mereka thogut," jelasnya.
Sepanjang 2022, total 66 saksi maupun ahli dalam tiga kasus terorisme memberikan kesaksian secara daring dari Kantor LPSK. Pendekatan yang mengedepankan kemanusiaan disebutnya menjadi kunci dalam mewujudkannya.
Selain itu, Susi mengatakan bahwa potensi ancaman turut menghantui dalam penanganan kasus terorisme. Ancaman ini bisa mengenai siapa saja seperti keluarga saksi, ahli, bahkan hingga jaksa, dan aparat penegak hukum lainnya.
Untuk itu, ia menjelaskan bahwa bentuk perlindungan fisik menjadi salah satu yang paling banyak dilakukan terhadap terlindung kasus terorisme. Perlindungan lain dilakukan dalam bentuk pendampingan selama proses hukum, pemberian bantuan medis, perlindungan identitas, hingga dukungan fasilitas dalam proses hukum yang dijalani.
Sejauh ini, Susi menerangkan bahwa pemberian kompensasi kepada korban juga telah dilakukan. Selain itu, pendampingan terus dilakukan untuk memastikan korban bisa menjalani aktivitas sehari-hari dengan baik.
"Untuk korban teroris masa lalu berhak mendapat batuan juga, bahkan korban Bom Bali 1 dan Bom Bali 2 masih ada yang kita bantu, bantuanmedis dan psikologisnya, karena berkepanjangan," katanya.