Tegal, Gatra.com - Ribuan nelayan di Kota Tegal, Jawa Tengah yang tergabung dalam Front Nelayan Bersatu menggelar demonstrasi, Kamis (12/1). Mereka menolak besaran penerimaan negara bukan pajak (PNBP) yang mencapai 10 persen karena dinilai memberatkan.
Demonstrasi digelar di sejumlah titik. Titik pertama di Kantor Pelabuhan Perikanan Pantai (PPP) yang berada di kawasan pelabuhan. Dengan membawa sound system dan sejumlah poster, para nelayan menyampaikan tuntutan dan meminta kepala PPP untuk menandatangani surat dukungan.
"Kami terbebani dengan kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan Kementerian Kelautan dan Perikanan. Awal tahun ini, kami dipaksa, diperas PNBP 10 persen pasca produksi," seru orator aksi.
Setelah puas berorasi di Kantor PPP, para nelayan juga sempat mendatangi Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan (PSDKP) dan kemudian melakukan long march ke Gedung DPRD Kota Tegal dengan pengawalan polisi. Mereka berjalan kaki menempuh jarak sekitar dua kilometer melalui jalan pantura hingga membuat arus lalu lali lintas di ruas jalan nasional itu tersendat.
Di Gedung DPRD, massa ditemui Wali Kota Tegal Dedy Yon Supriyono, Ketua DPRD Kusnendro, dan Wakil Ketua DPRD Habib Ali Zaenal Abidin. Ketiganya sempat naik ke mobil bak terbuka yang membawa sound system.
Ketua Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI) Jawa Tengah Riswanto mengatakan, demonstrasi digelar untuk menyuarakan enam tuntutan, antara lain menolak PNBP pasca produksi sebesar 10 persen untuk kapal di atas 60 gross ton (GT) dan meminta penurunan menjadi maksimal 5 persen, menolak sanksi denda administrasi 1.000 persen, serta perluasan daerah tangkap nelayan jaring berkantong.
"Selain PNBP 10 persen yang sudah mulai berlaku tahun ini, selama ini kami dibebani namanya retribusi daerah melalui lelang TPI dan retribusi daerah yang namanya tambat labuh. Ketika diakumulasi 10 persen dan retribusi daerah, tentu akan memberatkan pelaku usaha dan bagi hasil dengan nelayan," ujarnya.
Menurut Riswanto, kebijakan-kebijakan tersebut tidak hanya berdampak pada pemilik kapal dan anak buah kapal (ABK), tetapi juga pelaku usaha di sektor perikanan lainnya.
"Dampaknya kalau tuntutan kami tidak dipenuhi, pelaku usaha akan mati pelan-pelan karena operasional besar. Apalagi harga BBM cukup tinggi. Saat ini yang sudah tidak kuat dengan PNBP besar sudah mulai berfikir untuk menjual kapalnya," ungkapnya.
Riswanto mengakui jika Kementerian Perikanan dan Kelautan tengah membahas Peraturan Pemerintah Nomor 85 Tahun 2021 yang menjadi salah satu dasar penetapan PNBP 10 persen. Namun hal itu menurutnya masih dalam proses.
"Pertanyaan kami ketika masih proses revisi kenapa sudah diberlakukan Seharusnya ditunda sampai hasil revisi terbit," ujarnya.
Riswanto mengatakan, pihaknya akan terus menuntut penurunan besaran PNBP dan lima tuntutan lainnya hingga dipenuhi oleh pemerintah. "Kalau kesulitan yang sedang dialami nelayan saat ini tidak didengarkan, kami akan lakukan aksi lebih besar, baik di daerah maupun di Jakarta," tandasnya.