Sleman, Gatra.com - Kalangan lanjut usia atau lansia yang paling membutuhkan perawatan medis dan sosial justru tidak dapat mengakses layanan kesehatan. Kondisi yang muncul karena masalah mobilitas, disabilitas, atau kemiskinan pada lansia itu harus segera diatasi.
Hal itu mengemuka dalam diskusi soal ‘Studi Komparatif Perawatan Lanjut Usia’ yang digelar di University Club Universitas Gadjah Mada (UGM), Selasa (10/1). Adapun studi tersebut buah kerjasama Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya Jakarta dan University of Southampton (UK), bersama Loughborough University (UK) dan Oxford University (UK).
Studi komparatif itu berupa penelitian etnografi di lima provinsi di Indonesia yakni di DKI Jakarta, Sumatera Barat, Daerah Istimewa Yogyakarta, Jawa Timur, dan Nusa Tenggara Timur.
“Temuan studi komparatif menyebutkan bahwa lansia dengan ketergantungan perawatan cenderung ‘tidak terlihat’ dalam kebijakan publik yang memprioritaskan representasi “lansia sukses” dan “lansia tangguh”,” papar Yvonne Suzy Handajani, dari Pusat Penelitian Kesehatan, Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan, Universitas Katolik Atma Jaya, Jakarta.
Menurutnya, kondisi itu diperburuk dengan kemiskinan yang membuat keluarga tidak mampu membeli alat bantu kesehatan, seperti popok dewasa atau kursi roda. Perawat informal juga harus melakukan beberapa hal sekaligus, yaitu perawatan lansia dan pekerjaan untuk mendapatkan uang.
“Beban berat ini membuat lansia mendapat perawatan meski tidak sesuai dengan kebutuhannya. Penggunaan layanan kesehatan juga rendah bagi lansia dengan ketergantungan perawatan,” kata dia.
Selain itu, minimnya penggunaan layanan kesehatan tidak diimbangi dengan inisiatif layanan berbasis kunjungan ke rumah lansia. Kader aktif memang telah menyediakan pengecekan dan informasi kesehatan bagi lansia di komunitas.
Namun mereka masih jarang berinteraksi dengan lansia yang mempunyai kebutuhan perawatan tinggi. “Akibatnya, lansia yang paling membutuhkan dukungan justru tidak menerima yang mereka perlukan,” ujar Yvonne.
Peneliti University of Southampton, Inggris, Elisabeth Schroeder-Butterfill, menambahkan, riset ini bertujuan untuk memahami lansia. Antara lain siapa yang terlibat dalam perawatan, preferensi dan kebutuhannya, dan bagaimana keluarga lansia dapat didukung oleh layanan kesehatan, lembaga pemerintah, dan non-pemerintah.
Sebagai latar belakang, pada 2021, Indonesia menerbitkan Strategi Nasional Kelanjutusiaan dengan komitmen terhadap layanan perawatan jangka panjang komprehensif yang mencakup aspek kesehatan dan sosial lansia.
“Di tahun yang sama, PBB juga meluncurkan Decade of Healthy Aging (Dekade Lansia Sehat) untuk mengembangkan layanan kesehatan dan perawatan terintegrasi lansia,” kata dia.
Setelah riset di lima wilayah tersebut, dalam diskusi bersama para pemangku kepentingan ini, tim riset memberikan empat rekomendasi yang perlu diprioritaskan. “Pertama, hambatan penggunaan layanan kesehatan pada lansia harus diatasi,” kata Elisabeth.
Selain itu, layanan kesehatan harus menjangkau lansia dan relawan perawatan kesehatan dan perawat informal juga membutuhkan pelatihan. “Diperlukan perlindungan sosial untuk lansia sebagai dukungan ekonomi,” kata dia.
Dari DIY, Bupati Sleman, Kustini Sri Purnomo, mengklaim telah menetapkan sejumlah kebijakan untuk lansia. Antara lain alokasi anggaran untuk lansia hingga Rp7 miliar dan Layanan Antar Rumah untuk warga telantar, lansia, dan disabilitas.
"Kami memastikan agar penduduk lansia di Kabupaten Sleman dapat dengan mudah mengakses pelayanan kesehatan,” kata dia.