Jakarta, Gatra.com - Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) mencatat sepanjang 2022 telah terjadi 212 letusan konflik agraria di 33 Provinsi. Konflik agraria tersebut terjadi di 459 desa maupun kota di Indonesia dan melibatkan lebih dari 1.035.613 hektar lahan berstatus konflik. Sementara masyarakat yang terdampak konflik agraria tersebut tercatat mencapai 346.402 kepala keluarga (KK).
Sekretaris Jenderal KPA, Dewi Kartika menyebut sektor perkebunan masih mendominasi penyebab terjadinya konflik agraria di masyarakat. Pada 2022, dari 212 letusan konflik yang terjadi setidaknya ada 99 konflik di sektor perkebunan dengan luasan area bermasalah hingga 377.197 hektar dan berdampak pada 141 ribu kepala keluarga.
"Dari total 99 letusan konflik yang terjadi di sektor perkebunan tersebut, sebanyak 80 terjadi di perkebunan kelapa sawit," ujar Dewi dalam peluncuran catatan akhir tahun 2022 KPA di Jakarta Selatan, Senin (9/1).
Selanjutnya, komoditas teh, kakao, kopi, tebu, kelapa, dan karet juga menyusul menyumbang konflik agraria setelah sawit.
Menurut Dewi, masih mendominasinya sektor perkebunan penyebab letusan konflik agraria telah menjadi momok lama yang tak kunjung terselesaikan. Musababnya, pemerintah Indonesia masih memandang perkebunan sawit menjadi anak emas dalam menggeliatkan perekonomian nasional.
Bahkan, catatan KPA juga menemukan bahwa sepanjang 2022 eskalasi konflik agraria yang dipicu oleh PT Perkebunan Nusantara (PTPN) yang merupakan perusahaan perkebunan pelat merah ini pun meningkat.
"Tidak hanya dari sisi jumlah, tetapi juga dari tata cara penanganannya yang kami anggap makin represif bahkan brutal di beberapa wilayah konflik agraria terkait PTPN," tuturnya.
KPA menuding bahwa PTPN dan BUMN telah gagal menyelesaikan konflik agraria yang terjadi. Dewi mengatakan kegagalan itu menjadi pertanyaan besar terutama ihwal keseriusan pemerintahan Presiden Joko Widodo yang kerap menjanjikan mewujudukan reforma agraria.
Dewi mengatakan bahwa bisnis perkebunan sawit di Indonesia sarat dengan pelanggaran-pelangaran. Mulai dari perampasan tanah ulayat, tumpang tindih dengan wilayah masyarakat dan wilayah adat, hingga wilayah perkebunan yang berasal dari hutan lindung dan kawasan hutan.
Adapun upaya pemerintah dalam pemberian konsesi atau pun pencabutan HGU (hak guna usaha) perkebunan yang terbengkalai, kata dia juga patut dipertanyakan ihwal korelasinya dengan penyelesaian konflik agraria. Pasalnya, kencenderungan konflik agraria di sektor perkebunan saban hari justru mengalami tren meningkat.
"Kemudian sedikit sekali (konflik agraria) yang bisa diselesaikan. Kita mempertanyakan sebenarnya keseriusan pemerintah mencabut HGU di sektor perkebunan semacam ini. Jangan-jangan ini enggak ada korelasinya dengan upaya penyelesaian konflik agraria," imbuhnya.