Jakarta, Gatra.com - Pemerintah resmi menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Cipta Kerja pada akhir Desember 2022 lalu. Pengamat politik, Marwan Batubara menilai bahwa terbitnya Perppu Nomor 2 Tahun 2022 ini melanggar konstitusi.
"Presiden dengan seenaknya melanggar syarat penerbitan aturan kategori kegentingan memaksa. Rakyat harus paham, ini melanggar ketentuan," ujarnya dalam diskusi bertajuk "Menggugat Perpu Nomor 2 Tahun 2022 tentang Ciptaker: Makzulkan Jokowi" yang digelar secara hybrid, Senin (9/1).
Berdasarkan pada putusan Mahkamah Konsitusi (MK) Nomor 138/PUU-VII|2009, parameter sebagai kegentingan yang memaksa dalam rangka penetapan perppu antara lain adanya kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat, tidak memadainya UU yang saat ini ada, dan kondisi kekosongan hukum yang tidak dapat diatasi dengan cara membuat UU secara prosedur biasa. Meskipun berdasarkan Pasal 22 Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 presiden berhak menerbitkan perpu, namun definisi kegentingan memaksa ini perlu dilihat secara objektif dalam situasi yang ada.
"(Kondisi kegentingan) ini sangat mengada-ada. Mestinya ada kriteria objektif, bisa dimaklumi dan bisa dipetanggungjawabkan secara akademik, dan secara hukum. Faktanya tidak seperti itu," terangnya.
Selain itu, Marwan juga menilai bahwa penerbitan Perppu Cipta Kerja melanggar Pasal 96 UU Nomor 13 Tahun 2022 tentang Perubahan Kedua atas UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Pasal 96 sendiri membahas keterlibatan masyarakat dalam proses perumusan aturan.
Ia mengatakan bahwa munculnya perppu ini dilakukan tanpa memberi kesempatan pada publik untuk berpartisipasi dan memberi masukan. Padahal, masyarakat menjadi pihak yang berkepentingan dalam pemberlakuannya.
"Ada asas untuk menerima secara demokratis aspirasi masyarakat, ini ditutup. Masyarakat berhak terlibat, itu dilanggar," lanjutnya.
Ia juga mengatakan adanya pelanggaran terhadap Pasal 1 Ayat 3 UUD 1945 yang berbunyi, "Negara Indonesia adalah negara hukum". Artinya, segala sesuatu yang berkaitan dengan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara diatur menurut hukum yang berlaku. Namun, penerbitan Perppu Cipta Kerja tanpa memperhatikan hasil putusan MK bahwa perbaikan UU Omnibus Law dilakukan dalam dua tahun membuat posisi Perppu Cipta Kerja melanggar aturan yang ada.
Untuk itu, ia menilai bahwa Perppu Cipta Kerja merupakan aturan yang tidak boleh disahkan. Sejak perumusannya hingga penerbitannya, pelanggaran yang dilakukan membuatnya mendorong Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk tidak mengesahkannya.
Kewenangan presiden dalam mengeluarkan Perppu tetap melibatkan DPR. Pelaksanaan fungsi kontrol DPR tidak bisa mengubah isi pasal dari Perppu (tidak menilai substansi). DPR hanya bisa menilai dari kegentingan yang memaksa saja untuk menentukan apakah Perpu akan disahkan atau ditolak.