Jakarta, Gatra.com - Stroke adalah penyakit kegawatdaruratan saraf dengan disabilitas dan kematian tertinggi di berbagai negara di dunia. Keadaan tersebut menjadi beban pasien dan keluarga karena disabilitas memerlukan terapi pemulihan jangka panjang, perawat pendamping, dan biaya perawatan yang besar.
Untuk menghindari stroke berulang, disabilitas dan mortalitas, tata laksana prevensi sekunder secara adekuat dilakukan dengan terapi antihipertensi, dislipidemia, dan antiplatelet.
“Antiplatelet sejak awal dalam 48 jam pertama pasca stroke berhasil mengurangi risiko stroke berulang. Hal tersebut menjadi dasar pembuatan panduan stroke iskemik oleh American Heart Association/American Stroke Association (AHA/ASA) pada tahun 2006 dan masih digunakan hingga saat ini,” kata dr. Rakhmad Hidayat, Sp.S(K), MARS dalam SIdang Terbuka Program Doktor Ilmu Kedokteran FKUI di Kampus FKUI Salemba, Senin (9/1).
Rekomendasi lini pertama antiplatelet adalah asam asetilsalisilat (ASA), sementara klopidogrel direkomendasikan sebagai alternatif pada kasus efek samping atau alergi ASA.
Dr. Hidayat menyebutkan klopidogrel mencegah stroke iskemik berulang lebih baik dibandingkan ASA dengan risiko perdarahan yang lebih kecil.
“Walaupun klopidogrel lebih baik, ASA tetap menjadi lini pertama karena adanya fenomena high on-treatment platelet reactivity (HTPR), yaitu respons persisten terhadap reseptor ADP-P2Y12 menyebabkan kegagalan klopidogrel dalam mencegah stroke berulang,” lanjutnya.
Kejadian HTPR dibuktikan dengan pemeriksaan reaktivitas trombosit. Menurut dr. Hidayat, pemeriksaan tersebut relatif mahal, sehingga perlu dikembangkan metode penilaian resistensi klopidogrel yang lebih sederhana.
Dr. Hidayat menyebutkan Stent Thrombosis in Belgium (STIB) trial menyatakan faktor yang memengaruhi resistensi klopidogrel adalah indeks massa tubuh (IMT) > 28 kg/m2, kadar hemoglobin (Hb) < 13,9 g/dL, dan Diabetes Melitus (DM) yang dikenal sebagai skor STIB untuk menentukan tingkat resistensi klopidogrel.
“Untuk Indonesia, perlu dibuat modifikasi skor STIB karena masih memiliki kelemahan yaitu penilaian resistensi klopidogrel maksimal hanya sampai 77,8% sehingga perlu dipastikan realibilitas skoring STIB dan modifikasi skoring di Indonesia,” tuturnya.