Bantul, Gatra.com – Dikenal sebagai produk tembakau terbaik dari Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta, tembakau Siluk yang tak dilirik pabrik rokok dipasarkan langsung ke konsumen untuk mendapatkan pasar.
Strategi penjualan lewat pasar-pasar tradisional di pedesaan DIY dilakukan agar eksistensi tembakau Siluk tetap menarik untuk ditanam petani muda di tengah berkurangnya petani karena menua.
Konsep pemasaran itu diceritakan oleh petani sekaligus distributor tembakau Siluk, Suhardyanto alias Hardek, yang mulai memasarkan produk unggulan daerahnya sejak 2003.
Perlu diketahui, penyebutan tembakau Siluk merupakan pengganti dari nama produk tembakau yang dihasilkan dari varietas Kedu Sili. Tembakau ini secara khusus berasal dari Desa Selopamioro, Kecamatan Imogiri, Bantul.
“Nama tembakau Kedu Sili kurang dikenal pencinta rokok linting dhewe (melinting sendiri). Tembakau Siluk merujuk pada nama satu dusun yang sejak dulu dikenal sebagai pusat tembakau Bantul, “ kata Hardek saat ditemui di rumahnya di Kajor Kulon, Sabtu (7/1).
Bergelut hampir 20 tahun memperdagangkan tembakau Siluk, Hardek menyebut dua tahun pandemi Covid-19 adalah masa komoditas asli Bantul ini mulai dilirik perokok. Mereka adalah perokok yang beralih mengonsumsi rokok pabrik ke rokok linting dhewe alias tingwe.
Pasalnya dari awal pandemi, dengan tingkat perekonomian yang sulit, para perokok ini mencari produk tembakau yang lebih murah dan memiliki karakteristik rasa yang hampir sama dengan rokok kesukaan.
Hardek menceritakan, sebelum pandemi harga tembakau Siluk paling mahal di kisaran Rp40 ribu-Rp50 ribu per kilogram. Tapi hingga hari ini, harga tembakau Siluk sudah menembus Rp120 ribu-Rp200 ribu per kilonya.
“Harga ini memang sangat menguntungkan petani. Namun yang perlu dipahami, komoditas tembakau ini hanya bisa ditanam dan dipanen sekali dalam setahun, yaitu di saat musim kemarau,” ungkapnya.
Dengan karakteristik rasa tembakau yang didominasi lebih halus saat disedot dan menimbulkan sensasi, ia menyebut rokok dengan tembakau Siluk memberi ‘rasa tenang pada otak’.
Dengan kelebihan rasa itu, Hardek pun pede menerapkan strategi pasar berdasarkan karakteristik dan keinginan konsumen.
Dia menerangkan, untuk produk yang memiliki rasa lebih kasar, produk tembakau Siluk lebih diterima konsumen yang tinggal di Gunungkidul. Namun dengan rasa yang lebih halus dan mantap di otak, konsumen di Kulonprogo adalah pelanggan tetapnya.
“Sedangkan untuk konsumen muda dan perkotaan, tembakau yang kami tawarkan adalah yang halus dan tidak terlalu memberikan sensasi. Ini biasanya disukai konsumen di Bantul, Kota Yogyakarta, dan Sleman,” jelasnya.
Penjualan tembakau ini berkonsep tradisional, yaitu dengan menyajikan gelondongan besar tembakau Siluk yang siap dikonsumsi dan dijaga hingga di tingkat pengecer. Konsep ini diterapkan agar tembakau siluk tidak dijual dalam bentuk kemasan kecil dan diberi merek.
“Kami menginginkan pembeli bisa langsung mencicipi rasa tembakau yang ingin dibelinya. Kami tidak ingin penjual mencampur produk kami dengan tembakau lain. Ini semata-mata untuk menjaga kualitas rasa yang menjadi andalan tembakau Siluk,” paparnya.
Mendampingi Hardek, petani lainnya, Daliman, menjelaskan rasa halus tembakau Siluk biasanya oleh petani dibedakan dari tiga indikator yang dipegang turun temurun.
“Gondo, rupo, dan roso. Gondo mengacu pada aroma tembakau. Tembakau Siluk terbaik biasanya memiliki aroma yang harum dan agak manis. Kalau rupo itu warna. Paling bagus cerah warnanya, agak kekuningan,” jelas Daliman.
Sedangkan roso atau rasa yang terbaik adalah rasa mantap, yakni rasa halus di tenggorokan tapi bisa dirasakan ke otak.
Daliman menerangkan, ketiga indikator rasa tembakau Siluk ini biasanya dipengaruhi oleh jenis tanah sebagai media tanam dan jenis pupuk yang digunakan.