Jakarta, Gatra.com – Persoalan tes poligraf untuk mendeteksi kebohongan masih menjadi perdebatan dibanyak kalangan. Menurut psikolog forensik Reza Indragiri Amriel hasil poligraf seringkali tidak relevan dengan kenyataan yang sebenarnya. Sebab, alat itu hanya menilai dari respons fisiologis tubuh manusia semata.
Menurutnya, alat tersebut tidak bisa mengukur bagaimana pernyataan dan kenyataan sebenarnya. Makanya, Reza menilai alat seperti itu tidak tepat dijadikan acuan penuh dalam persidangan—termasuk dalam konteks persidangan Putri Candrawathi dan Ferdy Sambo, beserta tiga terdakwa lainnya.
Reza menilai, ada tiga aspek yang harus dikedepankan bila hasil produk non hukum tersebut dijadikan dasar sebagai alat bukti yakni, pertama terkait etik, kedua terkait metode dan ketiga terkait admissibiity yakni terkait penerimaan oleh majelis hakim.
Apalagi, sampai saat ini, belum ada aturan main penggunaan baik alat maupun hasil tes poligraf dijadikan dasar hukum. Maka, paling mungkin hanya digunakan sebagai bahan pertimbangan saja bukan jadi penentu.
"Per hari ini belum ada satu pun ketentuan aturan main penggunaan poligraf seperti apa. Dengan kata lain, andaikan hasil pemeriksaan poligraf itu diajukan ke majelis hakim, boleh jadi majelis hakim di ruang sidang A dan di ruang B berbeda penyikapan, karena belum ada aturan yang mengikat, mereka (hakim) harus menerima atau menolak, jadi sangat individual," ucap Reza, dalam dialog bersama Hotman Paris seperti dikutip pada Kamis (5/1).
Senada dengan Reza, mantan Kabareskrim Komjen (Purn) Susno Duadji menilai hasil test kebohongan alias poligraf, seringkali tidak akurat karena hanya merespons dari berbagai perubahan fisiologis tubuh, seperti denyut jantung, peredaran darah. Padahal, respons seperti itu, bisa terjadi karena banyak hal.
“Sampai saat sekarang, hasil tes kebohongan tidak akurat dan tidak dapat menjadi alat bukti. Justru alat kebohongan seringkali menjadi alat yang berbohong. Jadi yang benar adalah, alat itu yang berbohong," jelas Susno dalam dialog tersebut.
Ditambahkan Reza, kebohongan begitu juga kejujuran tidak bisa diukur dengan persentase. Kata dia, kebohongan kejujuran itu variabelnya hanya dua yaitu hitam atau putih, biner saja, bohong atau jujur.
"Kalau ada kejujuran 93%, kebohongan 7% , lantas kita mau mengatakan apa tentang orang ini. Alat poligraf tidak mengukur kenyataan, hanya mengukur respons fisiologis manusia," tegas Reza.
Poligraf hanya menakar pernyataan dan reaksi fisiologis yang menyertainya bukan membandingkan antara pernyataan yang kenyataan. Ia mencontohkan, misal suhu badan naik, di suatu kesempatan ketika seseorang berada dalam panggung ditonton banyak orang, ketika dites pasti sesuai kategori poligraf.
"Tapi, apakah lantas kategori bohong, belum tentu, bisa saja karena sedang cemas, masuk angin, dll. Jadi alat itu tidak bisa menemukan tali temali antara pernyataan dan kenyataan. Sebutan lie detector adalah hiperbola belaka. Apapun hasil poligraf, saya akan kesampingkan, siapa pun itu. Saya menganggap poligraf adalah alat yang tidak tepat untuk proses penegakan hukum," kata Reza.
Ia menambahkan, misalnya ada pernyataan tertentu yang kemudian dijawab dan menghasilkan respons fisiologis naik turun, apapun hasilnya, positif kah, negatif kah, netral kah, plus kah, minus kah, bagi Reza, hasilnya bisa dikesampingkan saja, karena semata respons fisiologis tubuh. “Apapun hasilnya, siapapun, hasil poligraf dikesampingkan saja,” tegas Reza.