Jakarta, Gatra.com – Setahun lalu, pada 5 Januari 2022, pemerintah mengumumkan mencabut ratusan izin usaha tambang, kehutanan, dan Hak Guna Usaha (HGU) perkebunan. Pencabutan ini merupakan evaluasi besar-besaran terhadap izin-izin pemanfaatan dan pengelolaan lahan di seluruh wilayah Indonesia yang bertujuan untuk mengoreksi ketimpangan, ketidakadilan, dan kerusakan lingkungan.
Kepala Pusat Studi Agraria Institut Pertanian Bogor (IPB), Bayu Eka Yulian, mengatakan bahwa langkah yang akan dilakukan setelah pencabutan menjadi hal penting yang harus dilihat. Sebab, diperlukan upaya dalam mewujudkan tujuan yang diharapkan.
Baca Juga: Harapan Pascapencabutan Izin Konsesi Kawasan Hutan
"Satu tahun berlalu, sepertinya kita masih punya PR besar terkait dengan pencabutan ini. Apakah akan menjadi momentum realokasi ruang untuk menjawab persoalan ketimpangan struktur agraria Indonesia? Atau pencabutan izin konsesi ini hanya sekadar perapihan di level administrasi?" ujarnya dalam media briefing secara daring bertajuk “Satu Tahun Pencabutan Izin Konsesi & Investasi Hijau”, Kamis (5/1).
Eka menilai bahwa penyelesaian persoalan struktural diperlukan dalam mengatasi konflik agraria dan ketidakadilan sosial yang terjadi. Artinya, pemerintah perlu memiliki political will agar masalah ini bisa diurai.
Pengelolaan lahan yang izinnya telah dicabut perlu didorong agar terjadi redistribusi lahan untuk masyarakat. Menurutnya, diperlukan akses bagi masyarakat lokal dalam memenuhi kebutuhan hidupnya.
"Ketika didorong, di atas tanah yang direformasi, tumbuh usaha rakyat yang bisa menyuplai kehidupan. Kita perlu memastikan tanah produktif dan efisien untuk dikelola masyrakat, harus jelas dulu," ucapnya tegas.
Eka menerangkan bahwa tahapan yang pertama kali bisa dilakukan, yakni dengan melakukan pemetaan terhadap lahan yang ada. Pemetaan sosial dan analisis kesesuaian lahan diperlukan untuk memastikan apakah lahan bisa membawa manfaat bagi masyarakat setempat.
"Apa betul lahan ini bisa kita lakukan kegiatan budidaya tanaman, atau seperti apa? Petakan dulu, analisis kesesuaian lahan, kesesuaian lingkungan. Kalau memang bisa, baru kita dorong menjadi tanah objek reforma agraria," katanya.
Selain mendorong pemanfaatan lahan untuk masyarakat, Eka juga meminta keterbukaan terkait sampai di mana proses pasca-pencabutan izin ini. Setelah setahun, tindak lanjut bagi perusahaan yang izinnya dicabut, serta bagaimana perusahaan berupaya mengembalikan izinnya, harus dibuka kepada publik.
Baca Juga: Miris, Banyak Izin Konsesi Di Lahan Gambut
"Pencabutan 192 izin ini bagaimana, apakah balik lagi karena perusahaan lain tidak mampu, atau membuktikan perusahaan besar sulit mengelola ini untuk konservasi lindung, atau masuk tanah objek reforma agraria. Ini saya kira PR kita ke depan," katanya.
Menurutnya, transparansi itu dibutuhkan agar seluruh pihak mampu merumuskan solusi dan langkah kebijakan selanjutnya. Penyelesaian struktural ini diperlukan, demi menjaga lingkungan dan membawa keadilan bagi masyarakat.