Jakarta, Gatra.com - Pakar Hukum Tata Negara sekaligus Direktur Eksekutif Pusat Studi Konstitusi dan Pemerintahan, Fakultas Hukum Universitas Muslim Indonesia, Fahri Bachmid, mengatakan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta harus dicabut.
Menurut Fahri, pencabutan dapat dilakukan bila Presiden Joko Widodo tidak mampu membuktikan aspek "keadaan darurat" dalam penerbitan Perpu di Sidang Paripurna bersama Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
Fahri menjelaskan, ketentuan pencabutan itu tertuang dalam Pasal 22 ayat (3) UUD 1945. Secara terminologi, kata dia, ketentuan tersebut mengandung pengertian bahwa “kegentingan yang mernaksa” menjadi syarat kondisional yang harus terpenuhi sebelum presiden mempergunakan kewenangan menetapkan Perpu.
"Sehingga sangat tepat jika DPR menilai substansi atau materi muatan dari Perpu tersebut," kata Fahri, dalam keterangan tertulis yang diterima Gatra.com, Rabu (4/1).
Tiga Alasan Perpu Patut Dicabut
Fahri kemudian memaparkan, setidaknya ada tiga alasan mengapa Perpu Cipta Kerja harus dicabut. Pertama, apabila dalam pembahasan Paripurna bersama DPR diketahui bahwa Perpu tersebut bertentangan dengan hakikat Perpu, yaitu tidak memenuhi syarat “keadaan kegentingan yang memaksa”. Maka itu, presiden mesti dinyatakan tidak berwenang menetapkan Perpu.
"Alasan kedua, perintah pencabutan ini untuk menghindari tindakan penyalahgunaan kekuasaan atau kemungkinan adanya tindakan kesewenang-wenangan yang dilakukan dengan instrumen hukum Perpu itu," ucapnya.
Adapun alasan ketiga, menurut Fahri, yaitu Perpu dibuat secara sepihak oleh presiden. Ia mengatakan, dengan konstruksi tersebut, DPR dapat memainkan peran-peran signifikan secara konstitusional. "(DPR) berfungsi sebagai 'checks and balances' dalam rangka mendinamiskan pemerintahan yang terbatas (limited government)," ujarnya.
Di sisi lain, Mahkamah Konstitusi sebagai the guardian of constitution; the guardian of democracy; the protector of citizen’s constitutional rights dan the protector of human rights, kata Fahri, juga dapat menguji keadaan dan syarat kegentingan yang dijadikan alasan pemerintah menerbitkan Perpu 2/2022.
Sebelumnya, presiden Jokowi pada 30 Desember 2022 lalu secara mendadak mengumumkan pengesahan Perpu 2/2022 tentang Cipta Kerja. Padahal, putusan MK pada 25 November 2021 menetapkan bahwa Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (Omnibuslaw) cacat secara formil. Lewat putusannya, Mahkamah menyatakan bahwa UU Cipta Kerja inkonstitusional bersyarat, sehingga pemerintah diminta memperbaiki UU dalam dua tahun.
Ketidakpatuhan Terhadap Konstitusi
Fahri pun menuding penerbitan Perpu itu sebagai akal-akalan pemerintah dan DPR lantaran gagal dalam menindaklanjuti putusan MK tersebut. Ia menilai terobosan hukum yang dilakukan pemerintah justru mempunyai dampak buruk yang sistemik terhadap ekosistem negara hukum dan demokrasi.
Bahkan, Fahri memastikan bahwa produk Perpu maupun UU dari Perpu ini tetap bermasalah dari sisi kaidah pembentukannya. Terutama karena tidak mengakomodasi kaidah "meaningful participation" dan berpotensi dapat dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi ke depan.
"Ini sebuah terobosan yang sangat riskan dan destruktif dalam pembangunan sistem hukum. Lebih jauh ini merupakan orkestrasi kebijakan dengan nuansa constitution disobedience," imbuh Fahri.