Jakarta, Gatra.com - Pengesahan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja oleh Presiden Joko Widodo di akhir Desember lalu menuai banyak kritik berbagai kalangan.
Pasalnya, alih-alih merevisi UU Cipta Kerja yang masih berstatus inkonstitusional bersyarat, Jokowi justru mengeluarkan Perpu tentang Cipta Kerja. Pemerintah berdalih, penerbitan Perppu didasari kondisi mendesak atau kegentingan terkait perekonomian negara.
Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira, menilai alasan kegentingan pemerintah dalam menerbitkan Perpu Cipta Kerja justru bertolak belakang dengan asumsi makro ekonomi APBN tahun 2023. Pemerintah RI sendiri memproyeksikan pertumbuhan ekonomi tahun ini bisa mencapai 5,3%.
"Kalau ekonomi masih tumbuh positif kenapa pemerintah menerbitkan Perpu?" kata Bhima dalam keterangan secara tertulis yang diterima Gatra.com, Selasa (3/1).
Ihwal ancaman krisis ekonomi tahun ini akibat perang antara Rusia dan Ukraina yang berlanjut pun, kata Bhima, justru berpotensi menguntungkan perdagangan RI. Konflik geopolitik di Eropa Timur itu berpeluang mengkerek harga komoditas strategis RI seperti sawit (crude palm oil/CPO) dan batu bara.
"Surplus perdagangan berturut turut yang terjadi di tahun 2022 merupakan windfall dari adanya perang di Ukraina," ujarnya.
Bhima pun menilai, pemerintah sebetulnya mempunyai ruang untuk melakukan ragam kebijakan yang akseleratif. Misalnya, kata dia, seperti UU Nomor 22 Tahun 2020 tentang Penetapan Perpu Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi; UU No. 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan; dan ragam regulasi keuangan lainnya yang masih akomodatif.
Sebaliknya, menurut Bhima, munculnya Perpu Nomor 2 Tahun 2022 ini justru akan menciptakan ketidakpastian kebijakan. Hal ini kontradiktif dengan target daya saing penanaman modal asing (PMA). Sebab, investor membutuhkan kepastian regulasi jangka panjang.
"Masalah utama dalam daya saing salah satunya tingkat ketidakpastian kebijakan cukup tinggi, investor bisa ragu untuk masuk tahun 2023 kalau aturan berubah-ubah," jelasnya.
Karena itu, Bhima menilai sikap pemerintah terkesan buru-buru dalam menghasilkan produk regulasi. Menurutnya, setingkat undang-undang mestinya perlu dikaji dan disiapkan secara matang. Bahkan secara historis, ia melihat UU Cipta Kerja dibuat terburu-buru sedari awal penerbitannya hingga menuai berbagai pertentangan.
"Oleh karena itu, seharusnya pemerintah turunkan dulu asumsi pertumbuhan tahun depan menjadi minus, baru ada kondisi yang mendesak untuk terbitkan Perpu," imbuhnya.