Jakarta, Gatra.com - Penerbitan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja tak hanya menuai penolakan dari kalangan pekerja, para pengusaha pun ikut menentang.
Anggota Komite Regulasi dan Hubungan Kelembagaan, Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), Susanto Haryono mengatakan ada dua hal yang menjadi sorotan, yakni pasal tentang pengupahan dan pasal tentang alih daya (outsourcing).
"Perubahan krusial yang disoroti Apindo terkait pengupahan yaitu pasal 88D ayat 2 (Perppu 2/2022)," ujar Susanto dalam konferensi pers Apindo di Jakarta, Selasa (3/1).
Pengusaha mempersoalkan formulasi penghitungan upah minimum pada Perppu Nomor 2 tahun 2022, yang sama dengan ketentuan dalam Peraturan Menteri Ketenagakerjaan (Permenaker) Nomor 18 tahun 2022.
Baca Juga: UU Cipta Kerja Bukan Hanya Soal Buruh dan Pengusaha
Dalam beleid itu, formula perhitungan upah minimum menggabungkan variabel pertumbuhan ekonomi, inflasi dan indeks tertentu.
Selanjutnya, dalam Pasal 88F Perppu Nomor 2 Tahun 2022 menjelaskan bahwa dalam keadaan tertentu, pemerintah dapat menetapkan formula perhitungan upah minimum yang berbeda dengan formula perhitungan upah minimum sebagaimana dimaksud dalam pasal 88D ayat (2).
Anto mengatakan, para pengusaha menyayangkan formulasi tersebut karena dianggap bertentangan dengan Undang-undang Cipta Kerja dan peraturan turunannya yaitu Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 36 Tahun 2021. Adapun dalam UU Cipta Kerja dan PP Nomor 36/2021 mendesain formula upah minimum hanya memuat variabel pertumbuhan ekonomi atau inflasi saja.
"Sebenarnya dengan menggabungkan variabel pertumbuhan ekonomi dan inflasi seperti ini pernah terjadi di Jepang sebelumnya, hasilnya menunjukkan tidak ada korelasi antara peningkatan upah minimum terhadap GDP (produk domestik bruto) dan produktivitas," paparnya.
Baca Juga: Pengesahan UU Cipta Kerja, Buruh Resah PHK Massal
Selain itu, kalangan pengusaha menilai bahwa formula upah minimum dalam Perppu bakal menyebabkan penyusutan penyerapan tenaga kerja. Bahkan, Anto menyebut bahwa berdasarkan riset yang dilakukan Apindo, formula pengupahan dalam Perppu akan membuat upah minimum di Indonesia menjadi yang tertinggi di ASEAN pada tahun 2025 mendatang.
Di sisi lain, aturan upah minimum dalam Perppu Nomor 2 Tahun 2022, kata dia, juga akan berdampak negatif terhadap daya saing usaha di Indonesia. Formula upah minimum dinilai riskan terhadap iklim investasi.
"Kebijakan kenaikan upah minimum berdasar formula Perppu akan semakin membebani dunia usaha," ungkapnya.
Baca Juga: Perppu Cipta Kerja Diapresiasi Ekonom Namun Dikritik Pakar Hukum
Karena itu, Apindo menekankan pentingnya pengaturan batas maksimal kenaikan upah minimum setiap tahunnya.
Anto menyebut hal itu diperlukan untuk mencegah kenaikan upah minimum berlebihan yang akan kontraproduktif terhadap situasi perekonomian.
"Bila (kenaikan upah minimum) sama persis dengan formula dalam Permenaker 18/2022 maka genting untuk disesuaikan," imbuhnya.