Jakarta, Gatra.com – Pihak Kuasa Hukum Kuat Ma'ruf dan Ricky Rizal telah mendatangkan masing-masing satu orang ahli untuk meringankan posisi klien mereka dalam perkara pembunuhan berencana Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat alias Brigadir J, pada persidangan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Senin kemarin (2/1).
Adapun pihak Kuat Ma'ruf menghadirkan seorang Ahli Pidana bernama Muhammad Arif Setiawan, untuk memberikan keterangan terkait unsur-unsur dalam Pasal 338, Pasal 340, dan Pasal 55 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
Sementara itu, pihak Ricky Rizal mendatangkan Ahli Psikologi Forensik Nathanael E. J. Sumampouw yang melakukan proses wawancara pada Ricky selama proses penanganan perkara Brigadir J, yakni sejak bulan Juli 2022 silam.
Baca Juga: Bripka RR Sita Senjata Brigadir J Setelah Lihat Pertengkaran Dengan Kuat Maruf
Ada sejumlah poin penting dalam keterangan kedua Ahli tersebut pada persidangan Senin (2/1) kemarin, tiga di antaranya telah Gatra.com rangkum sebagai berikut:
1. Ahli Pidana Sebut Orang di TKP Belum Tentu Turut Serta Lakukan Delik
Ahli Hukum Pidana Arif Setiawan mengatakan bahwa tidak semua pihak yang berada di suatu tempat ketika suatu tindak pidana terjadi dalam disebut turut serta dalam melakukan tindakan tersebut.
Menurut Arif, keikutsertaan seseorang dalam suatu tindak pidana tersebut harus dilihat berdasarkan meeting of mind atau kesepahaman pemikiran yang dimiliki oleh suatu pihak atas tindak pidana yang terjadi.
"Tergantung apakah [pada] orang yang ada di situ itu terjadi kesepahaman yang sama [atau] enggak untuk terjadi kejahatan tadi yang dimaksud. Kalau itu ada kesepahaman yang sama di antara orang di situ, berarti ada meeting of mind," kata Arif, dalam persidangan Kuat Ma'ruf.
2. Ahli Pidana Sebut Hasil Lie Detector Bukan Alat Bukti
Ahli Hukum Pidana Arif Setiawan menilai bahwa hasil uji poligraf atau tes kebohongan bukan merupakan alat bukti. Pasalnya, hasil uji poligraf tidak dimaktubkan dalam Pasal 184 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang mengatur terkait alat bukti dalam suatu perkara pidana.
Namun demikian, menurutnya, penggunaan lie detector justru berasal dari Peraturan Kapolri. Oleh karena itu, dibandingkan alat bukti, uji poligraf justru cenderung menjadi suatu instrumen yang diperlukan dalam penyidikan.
"Nah, itu kan hanya instrumen di dalam pemeriksaan, tetapi Ahli memahami [uji kebohongan] itu bukan salah satu alat bukti," ujar Arif, dalam persidangan Kuat Ma'ruf.
Meski hasil uji poligraf itu tak dapat dijadikan sebagai alat bukti, Arif menilai bahwa pemaknaan atas hasil uji poligraf yang dilakukan oleh ahli dengan kompetensi terkait, justru dapat dimunculkan sebagai alat bukti dalam suatu perkara pidana.
"Demikian, yang dipakai sebagai alat bukti bukan hasil dari laporan lie detector-nya, tetapi adalah pembacaan [Ahli] dari itu," jelasnya.
3. Psikolog Ungkap Analisis Alasan Ricky Rizal Berani Tolak Perintah Sambo
Ahli Psikologi Forensik Nathanael Sumampouw mengungkapkan analisisnya mengenai alasan Ricky Rizal menolak perintah Ferdy Sambo untuk melakukan back up dengan menembak Brigadir J. Menurutnya, hal itu didasari oleh latar belakang Ricky yang merupakan seorang Polisi Lalu Lintas (Polantas) dan tidak memiliki kompetensi untuk melakukan penembakan.
"Dari wawancara yang saya peroleh juga, terhadap yang bersangkutan langsung, memang dia [Ricky] anggota kepolisian, tetapi setelah lulus Sekolah Polisi Negara (SPN), yang bersangkutan bertugas di bagian Lantas (Lalu Lintas)," ujar Nathanael, dalam persidangan Ricky Rizal.
Secara spesifik, Ricky Rizal berada pada Unit Registrasi dan Identifikasi (Regident) Satuan Lalu Lintas. Dengan demikian, ia memiliki tugas harian yang bergelut dalam fungsi administrasi.
Baca Juga: Ahli Soroti Beda Keputusan Ricky Rizal dan Bharada E di Tengah Relasi Kuasa
"Jadi bukan sesuatu yang dalam kesehariannya bahkan dalam pelatihan punya skill untuk menggunakan senjata sehingga yang bersangkutan bisa untuk kemudian menolaknya," imbuh Nathanael.
Kuat Ma'ruf dan Ricky Rizal didakwakan melakukan pembunuhan berencana secara bersama-sama terhadap Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat alias Brigadir J. Ajudan Ferdy Sambo itu dinyatakan tewas pascapenembakan yang terjadi di rumah dinas Ferdy Sambo di Kompleks Polri Duren Tiga, Jakarta Selatan, pada Jumat (8/7) sore silam.
Atas keterlibatan mereka dalam peristiwa itu, keduanya didakwa melanggar Pasal 340 KUHP subsider Pasal 338 KUHP jo Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP jo Pasal 56 ke-1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).