Jakarta, Gatra.com - Melonjaknya harga batu bara di pasar global membuat kekayaan sejumlah pemegang saham perusahaan batu bara juga melonjak signifikan. Salah satunya adalah pengusaha batu bara Low Tuck Kwong yang kekayaannya bertambah ratusan triliun rupiah karena kenaikan harga batu bara.
Berdasarkan data billionaires list di Forbes, hingga pekan lalu, kekayaan Low Tuck Kwong dikabarkan telah mencapai US$30,9 miliar, atau setara Rp483,5 triliun. Jumlah itu bertambah signifikan, lebih dari Rp90 triliun, dibandingkan data yang sama per 24 Desember 2022, saat kekayaannya tercatat sebesar US$ 25,2 miliar, atau setara Rp392 triliun.
Low Tuck Kwong tak lain tak bukan adalah pemilik PT Bayan Resources Tbk (BYAN), sebuah perusahaan produsen batu bara di Indonesia yang berlokasi di Kalimantan Timur dan Selatan.
Melihat fenomena itu, anggota Komisi VII DPR RI Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Mulyanto, justru merasa prihatin. Pasalnya, menurut dia, kenaikan harga batu bara di pasar internasional menambah kesenjangan di masyarakat semakin lebar.
"Pengusaha dapat keuntungan ratusan triliun, sementara pemerintah daerah penghasil batu bara hanya mendapat royalti sebesar puluhan miliar," ujar Mulyanto dalam keterangan tertulis yang diterima Gatra.com, Senin (2/11).
Mulyanto menyebut bertambahnya harta Low Tuck Kwong sangat berlainan dengan nasib rakyat di lokasi tambang milik Low Tuck Kwong yang dinilai memperihatinkan. Ia mengaku khawatir ketimpangan akan menimbulkan kecemburuan sosial di kalangan masyarakat daerah tempat perusahaan tambang batu bara tersebut berada.
Karena itu, Mulyanto mendesak Pemerintah menata ulang ihwal aturan bisnis batu bara menjadi lebih baik. Ia memperingatkan, jangan sampai aturan yang ada hanya menguntungkan dan melindungi segelintir pengusaha saja. "Sementara pemerintah daerah hanya mendapat remah-remah hasil penjualan sumber daya alam miliknya. Kejadian ini tentu akan melukai rasa keadilan masyarakat," ucapnya.
Misalnya, Mulyanto mendorong Pemerintah meningkatkan pajak progresif dan menerapkan pembagian royalti yang lebih proporsional dan adil kepada daerah. Hal tersebut, sambung dia, terbilang logis karena pemerintah daerah yang akan menanggung semua dampak kerusakan lingkungan atas eksploitasi batu bara yang dilakukan para pengusaha.
"Dengan booming harga batu bara dunia, secara langsung melejitkan saham dan kekayaan pengusaha batu bara. Sementara dampak lingkungan dan sosial bagi masyarakat sekitar tambang malah membuat mereka menjerit," terang Mulyanto.
Mulyanto pun menyinggung soal Bupati Meranti, Muhammad Adil, yang merasa tak puas dengan besaran dana bagi hasil (DBH). Menurutnya, pemerintah terkesan abai dan santai terhadap persoalan itu. Padahal, Mulyanto menilai bahwa urusan royalti ini sangat sensitif, sebab terkait dengan kepentingan dan kesejahteraan masyarakat di daerah-daerah penghasil sumber daya alam.
Mulyanto mengatakan pengelolaan sumber daya alam yang melimpah di Indonesia hanya dinikmati untuk kemakmuran segelintir orang saja, bahkan perusahaan-perusahaan asing yang menanam modal kapital di Indonesia.
"Sebaiknya Pemerintah jangan menunggu mereka (kepala daerah) bersuara. Bila tidak, bukan hanya batu bara, tetapi juga nikel, bauksit, timah dan sumber kekayaan alam indonesia yang melimpah lainnya, bukan sepenuhnya dimanfaatkan bagi kemakmuran rakyat sesuai dengan amanat Konstitusi," imbuhnya.