Jakarta, Gatra.com - Satuan Tugas Khusus (Satgasus) Pencegahan Korupsi Polri menemukan sejumlah kasus selama setahun bertugas. Satgasus diisi 42 mantan Pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang bekerja sejak Januari 2022.
Kepala Satuan Khusus Pencegahan Korupsi Herry Muryanto, mengatakan ada tujuh program utama pencegahan korupsi yang telah dan sedang dilaksanakan pada 2022. Yakni, pencegahan korupsi dalam distribusi pupuk bersubsidi, pencegahan korupsi dalam Pinjaman Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) untuk daerah pada sektor infrastruktur, pencegahan korupsi dalam Penyaluran Bantuan Tunai Langsung-Dana Desa (BLT-DD).
Lalu, pencegahan korupsi dalam pengelolaan jaminan reklamasi dan pasca tambang, pencegahan korupsi melalui perbaikan tata kelola ekspor-impor, pencegahan korupsi melalui implementasi Single Identity Number (SIN) berbasis Nomor Induk Kependudukan (NIK), dan pencegahan korupsi dalam pengelolaan penerimaan negara yang bersumber dari cukai.
"Pencegahan korupsi dalam distribusi program pupuk bersubsidi, masih banyak ditemukan penerima ganda pupuk bersubsidi yang dituangkan dalam e-RDKK," kata Herry melalui keterangan tertulis, Senin, (2/1).
Herry mengatakan pihaknya menemukan belum optimalnya penggunaan Kartu Tani, baik dari sisi distribusi dan sarana prasarananya. Lalu, belum optimalnya pendataan penerima pupuk bersubsidi dan pengawasan distribusi pupuk bersubsidi oleh pemerintah daerah dan masih ditemukan pupuk bersubsidi yang diduga kualitasnya di bawah standar.
Satgasus juga menemukan permasalahan saat pencegahan korupsi dalam pinjaman PEN untuk daerah pada sektor infrastruktur. Pertama, terdapat tiga pemerintah daerah yang gagal mendapatkan pinjaman PEN untuk daerah karena belum memenuhi persyaratan sampai September 2022.
"Sehingga tidak lagi memungkinkan untuk melaksanakan proyek sesuai perencanaan pada tahun berjalan," ujar dia.
Kedua, ditemukan keterlambatan dalam realisasi penggunaan pinjaman PEN untuk daerah di beberapa daerah. Ketiga, belum optimalnya pengawasan terhadap pelaksanaan pembangunan infrastruktur yang pembiayaannya berasal dari fasilitas pinjaman PEN untuk daerah.
Selanjutnya pada pencegahan korupsi dalam Penyaluran Bantuan Tunai Langsung-Dana Desa (BLT-DD). Satgasus menemukan perbedaan penerapan cara pendataan, mulai dari pendata calon KPM BLT-DD yang berbeda-beda untuk setiap desa, kriteria yang beragam yang digunakan oleh desa dalam pemilihan calon KPM, dan tidak semua desa menggunakan kertas kerja sebagai acuan atau tidak terdokumentasikannya dengan baik kertas kerja pendataan.
"Dapat menyebabkan potensi pemilihan penerima bantuan yang kurang transparan dan akuntabel," ungkap Herry.
Satgasus juga menemukan penyerapan rendah di sebagian desa pada penyaluran tahap I dan II. Hal itu disebabkan adanya perubahan sistem dari tunai menjadi non-tunai. Perubahan data penerima bantuan sosial Kemensos dari DTKS sebagai bahan verifikasi penerima BLT-DD yang datang belakangan, disebut juga memengaruhi penyerapan.
"Karena tidak diperbolehkan penerima BLT-DD ganda dengan bantuan sosial lainnya," kata Herry.
Kemudian, tidak ditemukan adanya kasus pemotongan BLT-DD bagi masyarakat. Tidak adanya biaya operasional dalam penyaluran tunai itu dinilai berpotensi menimbulkan pemotongan terhadap BLT-DD yang diterima masyarakat.
"Meskipun belum pernah ditemukan tindak kejahatan terhadap proses pengambilan dana BLT-DD, kondisi geografis dan jarak antara desa dengan bank penyalur dapat menjadi potensi kerawanan terjadinya tindak pidana dalam proses pengambilan dana tunai BLT-DD tersebut," ucap dia.
Pada pencegahan korupsi dalam pengelolaan jaminan reklamasi dan pascatambang juga ditemukan sejumlah permasalahan. Pertama, rekening penempatan dana jaminan reklamasi dan pascatambang, khususnya untuk tambang non-bantuan yang seharusnya dikelola oleh pemerintah pusat (DHI. Ditjen Minerba KESDM), pada umumnya masih dalam penguasaan pemerintah provinsi dan/atau pemerintah kabupaten/kota.
"Secara nasional diperkirakan nilainya mencapai triliunan rupiah," kata Herry.
Ditemukan juga administrasi pencatatan dan pelaporan penempatan jaminan reklamasi dan pascatambang belum terselenggara dan terintegrasi dengan baik. Kegiatan pengawasan pengelolaan jaminan reklamasi dan pascatambang belum optimal setelah diberlakukannya Undang-Undang (UU) Nomor 3 Tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara.
"Kepatuhan perusahaan pemegang isin usaha pertambangan (IUP) untuk melakukan dan melaporkan kegiatan reklamasi sesuai rencana relatif masih rendah. Kemudian, lembaga/unit kerja pemerintah di bidang kehutanan dan lingkungan hidup relatif tidak banyak dilibatkan dalam pengelolaan reklamasi dan pascatambang," bebernya.
Lalu, pada pencegahan korupsi melalui perbaikan tata kelola ekspor-impor terdapat permasalahan dan celah penyimpangan pada penyaluran importasi. Masih adanya importir yang bekerja sama dengan oknum untuk melakukan pelanggaran importasi.
Belum optimalnya pengawasan internal di Direktorat Jenderal Bea dan Cukai. Ditemukan adanya intervensi dari pihak lain yang dapat memengaruhi independensi dan integritas petugas pemeriksa dalam proses importasi.
"Terdapat praktik nominee dan 'pinjam bendera' dalam kegiatan importasi. Kurangnya sinergitas dan koordinasi para pemangku kepentingan terkait ekspor impor," tutur Herry.
Dalam kegiatan bersama Itjen Kemenkeu di Cikarang Dry Port, kata dia, juga ditemukan pelanggaran kepabeanan yang dilakukan dua importir dalam dua kontainer. Yakni berupa pemasukan barang tidak sesuai dokumen, antara lain motor besar, sepeda premium, barang mewah dan barang lartas lainnya. Sehingga dilakukan penegahan dan nota pembetulan (notul) dengan nilai sebesar Rp2.425.315.000,00.
Menurut dia, Kementerian Keuangan (Kemenkeu) telah merespons dengan melaksanakan Program Reformasi Berkelanjutan dengan fokus penataan pada lima Pelabuhan Utama (termasuk Cikarang Dry Port). Diikuti dengan penguatan pengawasan pada wilayah Pesisir Timur Sumatra untuk mencegah terjadinya ballon effect akibat adanya pengetatan di Pelabuhan Utama.
Atas temuan hasil deteksi korupsi itu, Satgasus Pencegahan Korupsi Polri telah melakukan koordinasi dan menyusun aksi pencegahan korupsi dengan kementerian/lembaga terkait. Di antaranya kegiatan pendampingan, pengawasan, dan perbaikan regulasi