Jakarta, Gatra.com - Mantan Wakil Menteri Hukum dan HAM era pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), Denny Indrayana, mengkritik penerbitan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi). Ia mengaku kaget dengan sikap Jokowi yang membangkang terhadap keputusan MK.
"Ini kesalahan besarnya. Artinya presiden tidak menghormati MK. Presiden telah melakukan contempt of the constitutional court," kata Denny dalam keterangan secara tertulis, yang diterima Gatra.com, Senin (2/1).
Pemerintah berdalih, penerbitan Perppu Nomor 2 Tahun 2022 didasari pada konsep kegentingan atau kondisi darurat yang memaksa. Padahal, dalam Putusan MK Nomor 91.PUU-XVII/2020 secara jelas menyatakan bahwa Undang-undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja atau yang dikenal sebagai Omnibus Law berstatus inkonstitusional bersyarat. Artinya, secara formal UU Cipta Kerja bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945, karena belum adanya standar baku pembuatan Omnibus Law dan tidak adanya partisipasi publik yang bermakna (meaningful participation) dalam penyusunannya.
Putusan MK itu mewajibkan pemerintah untuk segera melakukan revisi UU Cipta Kerja dalam kurun waktu dua tahun. Alih-alih merevisi, kepala negara justru menerbitkan Perppu Nomor 2 Tahun 2022 sebagai pengganti UU Cipta Kerja. "Ketika dinyatakan tidak konstitusional, maka pembuat undang-undang harus patuh dan melaksanakan putusan MK, bukan dengan menggugurkannya melalui Perppu," kata Denny.
Denny menilai Jokowi mengambil jalan pintas dengan menerbitkan Perppu, seolah menjadi solusi dalam menghadapi kebutuhan secara cepat dengan mengabaikan putusan MK. Menurut dia, nantinya persetujuan Perppu oleh DPR dipastikan juga tidak akan melibatkan partisipasi publik sedikitpun.
"Dengan Presiden menerbitkan Perppu yang menggugurkan dan melecehkan putusan MK, Presiden sudah memberikan contoh buruk," ucap Senior Partner INTEGRITY Law Firm itu.
Sebelumnya, Ketua Partai Buruh Iqbal Said menolak keras sejumlah pasal dalam Perppu yang baru disahkan presiden pada Jumat (30/12) lalu. Sejumlah pasal dianggap tidak berbeda dengan yang ada di dalam Undang-undang Cipta Kerja dan berpotensi merugikan nasib buruh maupun pekerja.
"Kami sudah menyandingkannya (Perppu Nomor 2 Tahun 2022 dengan UU Cipta Kerja dan UU Nomor 13 Tahun 2003) maka sikap kami menolak," ujar Said Iqbal dalam konferensi pers, Minggu (1/1).
Adapun sejumlah pasal yang dianggap merugikan pekerja dalam Perppu tersebut antara lain terkait formulasi perhitungan upah minimum, tenaga alih daya (outsourcing), pesangon, perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT), pasal tenaga kerja asing (TKA) dan pengaturan waktu kerja serta pelaksanaan cuti.
Misalnya, dalam ayat 2(b) pasal 79 Perppu Nomor 2 Tahun 2022 menyatakan bahwa istirahat mingguan (libur) satu hari untuk enam hari kerja dalam satu minggu. Jika dibandingkan dengan pasal UU Nomor 13 Tahun 2003 memberikan pilihan istirahat mingguan sebanyak satu hari untuk enam hari kerja atau dua hari istirahat dalam lima hari kerja.
Selain itu, aturan kontroversial lainnya dalam beleid tersebut terkait pengupahan minimum, yaitu pasal 88D ayat dua Perppu Nomor 2 Tahun 2022 menyatakan formula perhitungan upah minimum mempertimangkan variabel pertumbuhan ekonomi, inflasi, dan indeks tertentu.