Jakarta, Gatra.com - Ahli Hukum Pidana dari Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta, Arif Setiawan mengatakan bahwa tidak semua pihak yang berada di suatu tempat ketika suatu tindak pidana terjadi dapat disebut turut serta dalam melakukan tindakan tersebut.
Menurut Arif, keikutsertaan seseorang dalam suatu tindak pidana tersebut harus dilihat berdasarkan meeting of mind yang dimiliki oleh suatu pihak atas tindak pidana yang terjadi.
"Tergantung apakah [pada] orang yang ada di situ itu terjadi kesepahaman yang sama [atau] enggak untuk terjadi kejahatan tadi yang dimaksud. Kalau itu ada kesepahaman yang sama di antara orang di situ, berarti ada meeting of mind," kata Arif, ketika hadir sebagai ahli yang meringankan dalam persidangan Terdakwa kasus pembunuhan Brigadir J, Kuat Ma'ruf, pada Senin (2/1).
Arif pun menjelaskan, meeting of mind dapat diartikan sebagai suatu kesepahaman ataupun kesamaan persepsi di dalam mewujudkan suatu tindakan, sebagaimana tujuan yang sudah ditentukan sebelumnya. Meeting of mind juga dapat didapati pada tindak pidana, tak terkecuali pada perkara pembunuhan.
"Kalau [perkara] pembunuhan, maka meeting of mind-nya itu, peserta [yang] satu dengan peserta yang lainnya, sama-sama menghendaki terjadinya kematian orang lain," paparnya.
Arif menyebut, meeting of mind merupakan bagian dari salah satu bentuk penyertaan dalam suatu tindak pidana, yakni terkait dengan keikutsertaan suatu pihak dalam tindakan tersebut. Menurutnya, penyertaan memiliki berbagai bentuk yang pula memiliki konsekuensi dalam masing-masing pembuktiannya.
"Untuk bentuk yang pertama, yaitu dipidana sebagai pembuat sebagai orang yang melakukan perbuatan. Itu adalah mereka yang melakukan perbuatan yang memenuhi semua unsur delik yang didakwakan," jelas Arif.
Sementara itu, bentuk kedua adalah penyertaan sebagai pihak yang menyuruh melakukan. Dalam bentuk ini, berarti ada dua pihak atau lebih yang terlibat dalam suatu tindak pidana, di mana satu pihak adalah pihak yang menyuruh dan pihak lainnya adalah pihak yang disuruh.
"Di dalam bentuk pernyertaan yang seperti ini, yang disuruh itu tidak bisa dipidana, karena dia tidak mempunyai niat jahat seperti yang menyuruh, karena yang mempunyai niat itu adalah si pihak yang menyuruh, maka yang menyuruh itulah yang bisa dimintai pertanggungjawaban," tuturnya.
Sementara itu, bentuk penyertaan yang ketiga adalah bentuk turut serta, di mana ada dua pihak atau lebih yang mempunyai kesepakatan bersama untuk sama-sama mempunyai kehendak untuk mewujudkan terjadinya tindak pidana.
Pada bentuk inilah, terdapat meeting of mind antar para pelaku dalan melaksanakan delik. Dengan demikian, dalam konteks turut serta, tindak pidana tak dapat dilakukan atau dipahami oleh satu pihak semata, karena harus ada satu kehendak yang sama untuk melakukan tindakan tersebut.
"Persoalan yang dilakukan berbeda-beda di dalam melaksanakan tindakan itu, itu tidak menjadi masalah di dalam bentuk turut serta. Yang penting, pelaku satu dengan pelaku yang lain punya kehendak yang sama," ujar Arif.
Adapun, Arif Setiawan dihadirkan oleh pihak Kuasa Hukum Kuat Ma'ruf dalam persidangan hari ini, Senin (2/1). Arif pun dihadirkan untuk memberikan keterangan yang dapat meringankan posisi klien mereka dalam perkara pembunuhan Brigadir J.
Sebagai informasi, Kuat Ma'ruf didakwakan atas pembunuhan berencana terhadap Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat alias Brigadir J. Ajudan Ferdy Sambo itu dinyatakan tewas pascapenembakan yang terjadi di rumah dinas Ferdy Sambo, di Kompleks Polri Duren Tiga, Jakarta Selatan, pada Jumat (8/7) sore silam.
Atas keterlibatannya dalam peristiwa itu, ia didakwa melanggar Pasal 340 KUHP subsider Pasal 338 KUHP jo Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP jo Pasal 56 ke-1 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP).