Home Ekonomi Beragam Tantangan Ekonomi Indonesia 2023

Beragam Tantangan Ekonomi Indonesia 2023

Jakarta, Gatra.com - Happy New Year 2023. Perekonomian Indonesia segera memasuki tahun yang menantang. Di mana tantangan terbesar bersumber dari ancaman resesi global, khususnya pelambatan pertumbuhan ekonomi Amerika Serikat (AS) dan kontraksi ekonomi Zona Euro (ZE).

Masalah utama perekonomian AS tahun 2023 adalah inflasi dan suku bunga tinggi. Tingkat inflasi AS hingga Nopember 2022 sekitar 7,7%. Hal ini masih jauh dari target inflasi The Fed, bank sentral AS sebesar 2%.

Meskipun demikian, pertumbuhan ekonomi AS mulai membaik pada kuartal ketiga 2022. Perkiraan pertumbuhan ekonomi AS sekitar 4% pada kuartal keempat 2022. Trend yang positif dapat dipastikan berlanjut hingga tahun 2023.

Sedangkan prospek ekonomi ZE tahun 2023 lebih buruk. Perekonomian ZE diperkirakan tumbuh negatif pada kuartal keempat 2022. Kemudian, pertumbuhan negatif akan berlanjut hingga tahun 2023. Perkiraannya, ZE secara resmi mengalami resesi pada kuartal pertama 2023.

Inflasi, suku bunga tinggi dan fluktuasi kurs menjadi tantangan utama perekonomian Indonesia tahun 2023. Di mana The Fed dan European Central Bank (ECB) masih akan terus menaikkan suku bunga acuan hingga inflasi mencapai 2%.

Kenaikan suku bunga The Fed dan ECB memaksa Bank Indonesia (BI) menaikkan suku bunga acuan. Tujuannya untuk menghindari capital outflow yang dapat menyebabkan currency crisis, fluktuasi tajam rupiah per dolar AS tahun 2023.

Happy new era 2023, yaitu era suku bunga tinggi. Hal ini menekan permintaan kredit, baik kredit investasi maupun konsumsi. Selama ini, konsumsi rumah tangga dan investasi menjadi kontributor utama pertumbuhan ekonomi Indonesia.

 

Tantangan Jangka Pendek

 

Prospek ekonomi Indonesia tahun 2023 lebih buruk dibanding 2022. Namun masih lebih baik dibanding negara maju. Pertumbuhan ekonomi Indonesia 2023 melambat menjadi 4,7%-5,1% sesuai perkiraan berbagai lembaga Internasional. Lebih rendah dibanding pertumbuhan tahun 2022 yang diperkirakan 5,3%-5,5%.

Dari sisi permintaan, tantangan perekonomian Indonesia adalah rasio utang terhadap Gross Domestic Product (GDP) yang meningkat. Rasio utang terhadap GDP tahun 2021 sekitar 41,20%, diperkirakan akan mengalami peningkatan tahun 2022.

Terbatasnya ruang fiskal karena pemerintah Indonesia menargetkan defisit fiskal terhadap GDP 3% tahun 2023. Defisit tertinggi dalam satu dekade terakhir sebesar 6,5% tahun 2020. Turun menjadi 4,65% tahun 2021 dan 3,9% tahun 2022. Diluar perkiraan, defisit fiskal hingga akhir 2022 sekitar 1,22% terhadap GDP.

Regim suku bunga tinggi menekan konsumsi rumah tangga dan investasi. Penurunan konsumsi rumah tangga menekan pertumbuhan mengingat perannya yang sangat dominan dalam perekonomian, sebesar 51,92% GDP. Demikian juga investasi yang berkontribusi 31,38% terhadap GDP.

Sementara dari sisi produksi, regim suku bunga tinggi menekan pertumbuhan sektor industri dan jasa. Selama tahun 2022, trend pertumbuhan sektor manufaktur relatif tidak mengalami perubahan pada kuartal kedua dan ketiga sekitar 4,01–4,03% (year on year-yoy). Sektor manufaktur berkontribusi 24% terhadap GDP.

Lalu, untuk pertumbuhan sektor konstruksi stagnan sekitar 0,5-1% pada kuartal pertama dan kedua 2022. Sektor konstruksi menyumbang 10% terhadap GDP. Sektor pertanian yang menyumbang 15% terhadap GDP hanya bisa tumbuh 1,38-1,65% (yoy).

Pada sisi sektor jasa keuangan, khususnya industri asuransi juga mengalami tekanan yang berat tahun 2023. Hal ini berkaitan dengan sulitnya perusahaan asuransi menambah kapasitas dalam menyerap risiko dari perusahaan reasuransi.

Solvabilitas perusahaan reasuransi domestik menurun signifikan. Perusahaan reasuransi nasional Indonesia memiliki RBC negatif 38.88% hingga akhir 2022 dari yang diperkenankan 120%. Pada sisi yang lain, own retensi perusahaan asuransi sangat kecil karena minimnya permodalan.

Lebih jauh, perusahaan reasuransi dalam negeri kesulitan melakukan retrosesi ke perusahaan asuransi luar negeri. Akibat ancaman resesi global, premi retrosesi mengalami pertumbuhan sekitar 30%. Pada saat yang sama, premi asuransi dalam negeri sudah sangat rendah.

 

Tantangan Jangka Panjang

 

Supply side revolution menjadi fokus kebijakan ekonomi dalam jangka panjang. Hal ini berkaitan dengan isu perubahan iklim, pengembangan Sumber Daya Manusia (SDM), dan R&D untuk inovasi teknologi.

Proposal ini sejalan dengan ekonom AS, Paul M. Romer dari New York University yang menekankan pentingnya inovasi teknologi. Paul M. Romer memodelkan inovasi teknologi secara endogen dalam pertumbuhan ekonomi.

Perekonomian dengan ketersediaan SDM dan pengetahuan yang memadai tumbuh tinggi dalam jangka panjang. Hal ini didorong oleh perbaikan produktifitas pekerja yang tercermin pada peningkatan Total Factor Productivity (TFP).

Pilihan satu-satunya bagi pemerintah Indonesia, meningkatkan pengeluaran untuk pendidikan, pelatihan dan R&D. Memberikan isentif kepada para peniliti melalui penegakan hukum atas pelanggaran HAKI. Hilirisasi hasil riset melalui kerjasama lembaga riset, perguruan tinggi, industri, pemerintah dan masyarakat.

 

 

Oleh:

Muhammad Syarkawi Rauf

Dosen FEB Unhas/ Komisaris Utama PTPN IX

5350