Jakarta, Gatra.com-Tim kuasa hukum Ferdy Sambo dan Putri Candrawathi kembali menghadirkan saksi ahli untuk memberikan keterangan yang meringankan posisi klien mereka dalam perkara pembunuhan berencana terhadap Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat alias Brigadir J, pada persidangan Selasa (27/12).
Dalam persidangan tersebut, pihak Sambo dan Putri mendatangkan seorang Ahli Pidana, yakni Guru Besar Hukum Pidana dari Universitas Andalas bernama Elwi Danil. Ada sejumlah poin penting dalam keterangan Elwi Danil pada persidangan Selasa (27/12), kemarin, yang tiga di antaranya telah Gatra.com rangkum sebagai berikut.
1. Kembali Singgung Status Justice Collaborator Bharada E
Tim kuasa hukum Ferdy Sambo dan Putri Candrawathi sempat mengajukan pertanyaan pada Ahli Pidana Elwi Danil terhadap kepantasan Bharada Richard Eliezer alias Bharada E untuk memperoleh status sebagai seorang Justice Collaborator (saksi pelaku). Pasalnya, mereka menilai Bharada E pernah berbohong dalam proses pemeriksaan pidana, serta memberikan keterangan yang tidak konsisten di persidangan.
Namun Elwi menegaskan bahwa ia tidak dapat menjawab pertanyaan tersebut. Ia memandang, pantas atau tidaknya Bharada E menyandang status tersebut akan diputuskan oleh majelis hakim melalui amar putusan.
"Tentu bukan saya yang akan memberikan penilaian, Yang Mulia (Majelis Hakim) lah nanti yang akan memberikan penilaian," kata Elwi, dalam persidangan Sambo dan Putri, di PN Jakarta Selatan, Selasa (27/12).
Menurut dia, majelis hakim dapat melakukan pertimbangan terkait pantas tidaknya seseorang mendapat status Justice Collaborator tersebut. Ia memandang, status tersebut bisa dibatalkan, apabila seorang terdakwa terindikasi berbohong dan berperilaku tidak baik selama proses peradilan.
"Maka dengan alasan sering berbohong, perilakunya tidak baik dan sebagainya, itu tentu dia tidak bisa diterima dan tidak layak untuk dihadirkan di persidangan sebagai justice collaborator," kata Elwi.
2. Jelaskan Pentingnya Motif Tindak Pidana Diungkap dalam Persidangan
Ahli Pidana Elwi Danil mengatakan bahwa motif dari suatu tindak pidana menjadi penting untuk diungkap di persidangan. Pasalnya, motif berperan krusial untuk menentukan pengambilan keputusan oleh Majelis Hakim.
"Menurut pendapat saya motif sangat bermanfaat untuk menentukan berat ringannya pidana yang akan dijatuhkan," kata Elwi.
Menurut dia, motif adalah suatu unsur yang perlu diungkapkan. Pasalnya, motif merupakan cikal bakal atas lahirnya kehendak dari pelaku, yang akhirnya akan berujung pada kesengajaan.
3. Pemaknaan Kata "Hajar" Harus Dikonsultasikan pada Ahli Bahasa
Ahli Pidana Elwi Danil menjawab pertanyaan tim kuasa hukum Sambo yang menyoal pertanggungjawaban dari seorang pelaku materil apabila salah mengartikan suatu perintah dari aktor intelektual.
Menurut Elwi, aktor intelektual hanya bertanggung jawab atas apa yang ia perintahkan, sehingga apabila pelaku materil melakukan lebih dari yang diperintahkan, maka hal itu akan menjadi tanggung jawab pelaku materil itu sendiri.
Dalam konteks ini, tim kuasa hukum Sambo berbicara mengenai perintah sebelum peristiwa dari klien mereka pada Bharada E, yang menurut mereka berbunyi, "Hajar Chad!".
Terkait itu, Elwi pun memandang bahwa makna dari kata "hajar" tersebut perlu terlebih dahulu dipahami. Oleh karena itu, ia memandang perlu untuk melibatkan ahli bahasa, agar makna di balik perintah tersebut dapat dipahami dengan tepat.
"Tentu hal ini harus diminta kejelasan pada ahli bahasa tentang apa yang disebut dengan kata hajar itu. Mungkin biasanya di tengah masyarakat atau di institusi tertentu apa yang dipahami dengan istilah kata hajar itu," jelas Elwi.
Ferdy Sambo dan Putri Candrawathi didakwakan atas pembunuhan berencana terhadap Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat alias Brigadir J. Ajudan Ferdy Sambo itu dinyatakan tewas pascapenembakan yang terjadi di rumah dinas Sambo, di Kompleks Polri Duren Tiga, Jakarta Selatan, pada Jumat (8/7) sore silam.
Atas keterlibatan mereka dalam peristiwa itu, ia didakwa melanggar Pasal 340 KUHP subsider Pasal 338 KUHP jo Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP jo Pasal 56 ke-1 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP). ***