Jakarta, Gatra.com - Indonesia berada dalam kepungan Pertambangan Tanpa Izin (PETI). Maraknya penambangan ilegal sedikitnya disebabkan oleh tiga hal: lemahnya tata kelola perizinan, kosongnya koordinasi pengawasan, dan konflik kepentingan berbagai pihak.
Disinyalir kuat pemilik modal telah bersekutu dengan oligarki lokal, dan mendapat beking dari sejumlah oknum aparat. Pada akhirnya, keuntungan dari aktivitas pertambangan liar pun sebetunya hanya dinikmati segelintir pihak saja.
Selain kerusakan lingkungan yang luar biasa karena tidak ada rehabilitasi lahan pasca tambang, PETI juga merugikan masyarakat lokal dan pemerintah daerah karena tidak adanya program pengembangan dan pemberdayaan masyarakat (PPM).
Kerugian di atas diperparah dengan hilangnya potensi pendapatan negara hingga mencapai ratusan triliun rupiah setiap tahunnya.
Untuk mengetahui sepak terjang PETI dan sejauh mana berbagai upaya untuk mengatasi telah dilakukan, wartawan GATRA Muhammad Muttaqin berkesempatan mewawancarai Direktur Jenderal Mineral dan Batubara (Dirjen Minerba) Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Ridwan Djamaluddin, pada 6 Desember 2022 lalu.
Sebagian wawancara ini teah dimuat dalam Laporan Utama Majalah Gatra, Edisi 08 XXIX, 16-21 Desember 2022, ‘’Berebut Emas di Sangihe’’. Berikut petikannya:
Bagaimana pemerintah melihat tumbuhnya PETI?
Kegiatan PETI telah ada sejak berlakunya UU Nomor 11 Tahun 1967 Tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertambangan dan selama waktu tersebut belum ada kegiatan atau upaya yang ampuh dalam menanganinya.
Kegiatan ini berkembang pesat seiring dengan kondisi perekonomian yang dirasakan sulit oleh masyarakat, yaitu tingginya angka pengangguran, sedikitnya lapangan kerja yang dapat menyerap pekerja serta makin tingginya kompetisi calon pekerja di dunia kerja. Hal-hal tersebut menjadi pemicu maraknya kegiatan PETI di berbagai daerah.
Seiring dengan pesatnya pembangunan fisik sarana dan prasarana di beberapa daerah mengakibatkan meningkatnya kebutuhan material untuk pembangunan. Namun terbitnya UU Nomor 3 Tahun 2020 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 4 tahun 2009 Tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba), telah mengamanatkan pengelolaan pertambangan minerba ada di tangan menteri untuk mengatasi permasalahan maraknya PETI komoditas batuan di beberapa daerah.
Langkah apa yang sudah ditempuh?
Pemerintah telah mengupayakan berbagai hal dalam upaya penanganan PETI, yakni telah mengakomodir di dalam peraturan mulai UU Nomor 11 Tahun 1967 Tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertambangan melalui Surat Izin Pertambangan Daerah untuk komoditas batuan yang pada hakikatnya mengutamakan kegiatan yang dilakukan oleh masyarakat untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Dalam UU Nomor 4 Tahun 2009 Tentang Pertambangan Minerba telah mengakomodir melalui Izin Pertambangan Rakyat (IPR) dengan kriteria kegiatan pertambangan oleh masyarakat yang telah dilakukan secara turun temurun namun belum memiliki izin.
Terbitnya UU Nomor 3 Tahun 2020 juga tetap mengakomodir adanya pertambangan oleh rakyat melalui IPR dengan menyelaraskan di dalam program Pemerintah Daerah.
Terbitnya Peraturan Presiden Nomor 55 Tahun 2022 Tentang Pendelegasian Pemberian Perizinan Berusaha di Bidang Pertambangan Minerba memperluas akses pertambangan melalui IPR oleh Pemerintah Daerah atau gubernur.
Kementerian ESDM menyebut ada 2.700 lokasi PETI di Indonesia, apa rencana dengan stakeholder lain untuk mengatasinya?
Adanya data lokasi PETI yang tersebar di seluruh Indonesia merupakan upaya Ditjen Minerba dalam memperoleh informasi mengenai lokasi-lokasi PETI tersebut.
Informasi dan data lokasi PETI tersebut telah dikumpulkan dari berbagai pihak yang meliputi Dinas yang membidangi ESDM di Provinsi, Inspektur Tambang penempatan provinsi, Kepolisian Daerah hingga tingkat Polsek.
Pendataan lokasi PETI tersebut intinya merupakan koordinasi lintas Kementerian dan Lembaga guna membahas upaya-upaya penanganan dan penertibannya. Ditjen Minerba telah intensif berkoordinasi dengan pihak Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam upaya penanganan PETI.
Tidak semua lokasi mampu dilakukan penanganan karena keterbatasan sumber daya manusia, anggaran dan tugas utama lainnya.
Selain itu Ditjen Minerba juga intensif dalam berkoordinasi dengan Kementerian Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan dalam upaya penanganan PETI di beberapa daerah meliputi Provinsi Gorontalo, Provinsi Sulawesi Utara, Provinsi Sulawesi Tenggara dan Provinsi Jambi.
Koordinasi dengan Kementerian KLHK dalam penanganan PETI di dalam kawasan hutan juga dilaksanakan dalam upaya menangani PETI di Provinsi Sulawesi Tenggara.