Jakarta, Gatra.com - Pengamat Ekonomi dari Universitas Indonesia (UI) Yusuf Wibisono mengatakan, ada sejumlah langkah yang bisa dilakukan pemerintah untuk memitigasi risiko di tahun 2023, salah satunya dengan menjaga daya beli masyarakat.
“Menjadi krusial bagi pemerintah untuk berkonsentrasi pada menjaga daya beli rakyat dengan penguatan bansos dan jaring pengaman sosial, serta menjaga ketahanan pangan dan energi. Pemerintah sebaiknya segera berfokus pada perekonomian domestik kita yang besar, beralih dari export-led growth menuju ke domestic demand-led growth," terang Yusuf dalam keterangan yang diterima Gatra, Jumat (23/12/2022).
Hal ini dikatakan Yusuf menanggapi pernyataan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto yang menyebut tantangan ekonomi Indonesia ke depan terus berdatangan dan Indonesia telah belajar menghadapi ketidaktahuan dan ketidakpastian ekonomi, terutama ketika menghadapi pandemi covid-19. Indonesia mampu menghadapi dengan segala kemampuan dan resiliensinya melalui koordinasi di sektor fiskal, moneter, maupun riil.
Yusuf menambahkan, meski perekonomian kita relatif tak terlalu berhubungan dengan perekonomian global, namun keterkaitan dan dampak perekonomian global ke perekonomian kita tidak bisa dipandang kecil, terutama melalui jalur ekspor dan impor serta jalur aliran modal asing.
“Komponen ekspor-impor dalam perekonomian kita berkontribusi sekitar 20%, resesi global dipastikan akan melemahkan ekspor sebagai salah satu mesin utama pertumbuhan dan "menjadi penyelamat" di masa pemulihan pasca pandemi ini,“ jelas Yusuf.
Melemahnya ekspor yang diikuti melemahnya aliran modal asing baik FDI maupun investasi portofolio juga akan melemahkan nilai tukar rupiah, terlebih aliran modal keluar berpotensi meningkat seiring kenaikan bunga acuan di negara-negara maju.
Untuk kebijakan moneter, Yusuf menyarankan, kebijakan moneter untuk menjaga nilai tukar rupiah sebaiknya tidak lagi mengandalkan suku bunga, namun beralih dari pendekatan suku bunga tinggi ke pendekatan pengelolaan devisa yang efektif, terutama melalui repatriasi DHE (devisa hasil ekspor), SDA dan menukarnya secara efektif ke rupiah.
"Pemerintah harus bersikap tegas kepada eksportir yang tidak melakukan repatriasi DHE ke dalam negeri, termasuk dengan melakukan penyesuaian terhadap rezim devisa bebas.” ungkap dia.
Di sisi lain, Pakar Ekonomi dari Universitas Jember Adhitya Wardhono mengungkapkan pemerintah dan Bank Indonesia (BI) patut memperkuat dan mempererat kerja sama untuk memitigasi ancaman krisis global. Menurutnya, perlambatan perekonomian global adalah tidak dapat dipungkiri dan bisa akan menggerus ekonomi Indonesia.
"Sehingga pertumbuhan ekonomi global diperkirakan juga akan melandai. Sehingga tidak mudah bagi Indonesia untuk bertahan di kondisi ekonomi 2023 yang diperkirakan suram," terang dia.
Namun, Adhitya membangun optimisme pada ekonomi Indonesia yang dinilai relatif aman dari resesi. Meski demikian, Indonesia tetap harus waspada. Ketergantungan terhadap ekonomi global masih cukup tinggi sehingga sektor ekspor dan investasi harus terus digenjot dengan berbagai program pemerintah. Untungnya, penentuan produk domestik bruto (PDB) yang menjadi dasar perhitungan pertumbuhan ekonomi Indonesia di dominasi oleh sektor konsumsi.
Ia menekankan pentIngnya sinergitas dan efektivitas kerja sama antara otoritas fiskal dan moneter. Kuncinya ada di koordinasi otoritas fiskal dan moneter terlebih bagi Indonesia semakin berat menjelang tahun politik ini.
"Duet maut mereka jangan sampai kendor. Ini fase pemulihan ekonomi karena pandemi belum selesai. Ada efek memar yang belum sembuh. Perlu tetap fokus. Karena bisa dipastikan kinerja ekspor akan menurun dengan perlambatan ekonomi global, cadangan devisa pasti tergerus maka perlu dilakukan langkah untuk tetap menjaga stabilitas nilai tukar tanpa menahan laju pertumbuhan ekonomi," tambahnya.
Adhitya menegaskan, sebagaimana saat awal pandemi covid-19, pemerintah perlu memberi keyakinan dengan kebijakan fiskal melalui APBN yang didesain untuk tetap tahan terhadap gerusan resesi global. Pemerintah harus mengantisipasi penurunan daya beli masyarakat melalui program sosial seperti bantuan tidak terduga dan subsidi masyarakat. Sedangkan BI juga patut menjaga stabilitas ekonomi melalui stabilitas harga dan nilai tukar.
"Pemerintah harus konsisten pada antisipasi resesi global dengan instrumen APBN-nya dan BI harus mampu menggerakkan kebijakan moneternya sehingga stabilitas ekonomi khususnya harga barang akan terjaga," pungkasnya.