Jakarta, Gatra.com – Isu transisi energi menjadi salah satu pembahasan utama dalam skala nasional dan global dalam beberapa tahun terakhir. Pembahasannya juga disertakan dalam Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G20 di Bali pada 15-16 November lalu.
Hasilnya, beberapa dokumen kesepakatan negara anggota menunjukkan komitmen menuju transisi energy, diantaranya yaitu G20 Chair’s Summary Energy Transitions Minister Meeting 2022, serta Decade of Actions: Bali Energy Transitions Roadmap.
Direktur Eksekutif organisasi masyarakat sipil Publish What You Pay (PWYP) Indonesia, Aryanto Nugroho menyebutkan bahwa dalam dokumen kesepakatan Negara G20, perlu memperhatikan hal-hal dalam proses penerapan menuju transisi energi.
Baca Juga: Manfaatkan Saluran Irigasi Hasilkan Energi Listrik
“Kita coba dokumen hasil G20 yang dilakukan sepanjang G20, ketemu istilah mineral supply chain itu di dalam yaitu G20 Chair’s Summary Energy Transitions Minister Meeting 2022. Ini persetujuan dan komitmen mencari solusi untuk ketahanan energy dengan memperkuat supply chain, termasuk mineral,” ujarnya dalam diskusi bertajuk “Refleksi Agenda Transisi Energi Berkeadilan dalam Kebijakan Rantai NIlai Mineral Indonesia”, Rabu (21/12).
Ia menyatakan bahwa dalam mendorong energy bersih, supply chain harus diamankan karena dunia membutuhkan itu. Peralihan penggunaan batu bara menjadi mineral membuat kebutuhan terhadap mineral akan meningkat sehingga penting untuk menjaga pasokannya.
“Misalnya, nikel untuk kebutuhan energi bersih, baterai, di Indonesia khususnya, upaya untuk segera memproduksi mobil listrik sangat luar biasa. Supply chain ini penting untuk didiskusikan,” ucapnya.
Baca Juga: ESDM: Nuklir Bisa Jadi Sumber Energi Listrik Andalan di Masa Depan
Ary menekankan bahwa kebutuhan mineral untuk teknologi energi bersih juga harus memperhatikan proses menuju ke arah sana. Artinya, ekstraksi sumber daya seperti nikel ini, tidak boleh berseberangan dengan tujuan dari climate goals itu sendiri.
Ia menyebutkan bahwa tujuan perubahan iklim dan sustainable development harus tetap menjadi tujuan utama, sehingga prosesnya tidak melawan tujuan itu sendiri.
“Karena kebutuhan baterai, mobil listrik, maka akan mengekstrasi nikel luar biasa sehingga berseberangan. Investasi nggak green, pelaksanaan operasi juga jauh dengan prinsip pembangunan berkelanjutan. Apakah ini cukup adil juga untuk daerah seperti Indonesia yang punya sumber daya nikel luar biasa? Ini Harus in line dengan sustainable development,” paparnya.
Pengimplementasian transisi energi, kata Ary perlu dipertimbangkan dengan matang. Persiapan di Indonesia sendiri harus dilakukan dengan serius agar hasilnya tidak berlawanan dengan tujuan menuju penggunaan energi bersih.
Ary menjelaskan bahwa di dalam dokumen Decade of Actions: Bali Energy Transitions Roadmap, penggunaan standar ESG (Environment, Social, Governance) perlu dilakukan dalam menuju transisi energi. ESG sendiri merupakan konsep yang mengedepankan kegiatan pembangunan, investasi, bisnis yang berkelanjutan melalui tiga faktor utama, yaitu lingkungan, sosial dan tata kelola.
Penerapan standar ESG ini dibutuhkan dalam proses transisi energi. Hal ini menjadi perhatian dan perlu didorong sekaligus sebagai refleksi menuju energi bersih atas bagaimana selama ini perusahaan menjalankan operasionalnya,
“ESG sebagai sebuah standar lingkungan sosial, didorong dalam konteks operasional perusahaan yang melakukan ekstrasi mineral. Teknologi energi bersih juga harus memastikan, yang diharapkan dari G20, perusahaan mengacu pada standar ESG,” katanya.