Jakarta, Gatra.com - Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) hari ini kembali dibuka di zona merah di level 6.765,98, melemah dari penutupan kemarin sore di level 6.779,70. Kemudian IHSG bergerak variatif dengan level terendah di 6.719. Mengacu pada data RTI, sejak memasuki bulan Desember 2022, IHSG relatif selalu berada di bawah 7.000.
Direktur Laba Forexindo Berjangka, Ibrahim Assuaibi, menilai bakal sulit bagi IHSG untuk bangkit ke level 7.000, terutama di akhir tahun 2022 ini. Hal itu, kata dia, tak lepas dari berbagai persoalan ekonomi global. Ibrahim bahkan menduga, pada kuartal I tahun 2023 nanti, besar kemungkinan Eropa dan Amerika Serikat (AS) masuk ke dalam jurang resesi.
Apalagi Inggris, yang menurut Ibrahim bakal mengalami resesi sangat besar tahun depan. Alhasil, saat ekonomi di negara-negara Barat memburuk, bursa di negara-negara itu pun ikut terpuruk. "Ini yang cukup mengkhawatirkan. Para spekulan menganggap saat bursa saham di AS dan Eropa mengalami penurunan karena resesi, ini akan berakibat fatal kepada IHSG di Indonesia," ujarnya kepada Gatra.com, Selasa (20/12).
Krisis di Inggris, Eropa, dan AS semakin menjadi kala perang Ukraina dan Rusia tak kunjung rampung. Konflik di Eropa Timur itu menyebabkan krisis energi dan pangan yang berkepanjangan di hampir seluruh penjuru Eropa dan AS. "Kekurangan makanan dan energi di Eropa membuat demonstrasi besar-besaran. Sehingga kinerja bursa saham di sana terdampak," jelas Ibrahim.
Di sisi lain, pandemi Covid-19 di Cina juga makin menggila. Padahal Cina sebagai negara ekonomi terbesar kedua dunia menjadi penting bagi kondisi perdagangan Asia. Karena itu, kondisi krisis di Cina bakal berdampak negatif bagi Indonesia, mengingat negeri Tirai Bambu itu menjadi pasar utama dalam perdagangan (ekspor-impor) RI.
Lebih lanjut, Ibrahim juga menyebut adanya kemungkinan bank sentral AS (The Fed) menaikkan suku bunga acuan secara lebih agresif tahun depan. Pasalnya, AS diperkirakan bakal berfokus pada penurunan inflasi ke angka semula, yakni sekitar 2-3%. Diketahui saat ini inflasi AS masih cukup tinggi, bertengger di angka 7%. "Masih adanya kemungkinan kenaikan suku bunga membuat bursa saham di seluruh dunia bermasalah," imbuhnya.
Mengacu data RTI, pada pukul 11.12 WIB, kinerja bursa saham Inggris (FTSE 100 Index) dalam satu bulan terakhir melemah 1,1%, dan turun 1,92% dalam setahun terakhir. Sementara kinerja Indeks Dow Jones (New York) selama setahun terakhir melemah 10,46%, dan turun 2,93% dalam satu bulan terakhir.
Adapun kinerja IHSG (IDX) dalam setahun terakhir tumbuh 0,88%, tetapi melemah 4,86% dalam satu bulan terakhir. Begitu pun dengan indeks saham LQ45, yang kinerja merosot 6,43% dalam sebulan terakhir.