Jakarta, Gatra.com - Mantan Kepala Biro Pengamanan Internal (Karo Paminal) Hendra Kurniawan menyebut proses sidang etik yang membuatnya harus keluar dari institusi Polri, tidak dilaksanakan secara profesional.
Hendra pun mengaku tidak memahami bentuk ketidakprofesionalan yang ia lakukan, sebagaimana dituduhkan kepadanya.
"Sedikit saya bisa jelaskan, masalah kurang profesional juga saya tidak mengerti," ujar Hendra, saat bersaksi dalam persidangan perintangan penyidikan terhadap Irfan Widyanto, di PN Jakarta Selatan, Jumat (16/12).
Hendra menyebut proses sidang kode etik yang dilaluinya itu, dan dikatakan tidak profesional karena tak menghadirkan keseluruhan saksi yang dijadwalkan datang dalam persidangan tersebut. Bahkan, jumlah saksi yang hadir pada saat itu tak mencapai setengah jumlah saksi yang direncanakan hadir, untuk memberi keterangan mereka terhadap kasus tersebut.
Baca Juga: Sidang Etik Brigjen Hendra Digelar Tertutup
"Dari 17 saksi yang dihadirkan, hanya tiga yang (hadir) fisik, satu (hadir) daring, lainnya tidak hadir. Jadi, itu yang menurut saya juga, tidak profesional di dalam proses itu, sehingga hanya itu saja yang bisa menentukan bahwa saya kurang profesional tadi," katanya.
Hendra mengatakan, dalam sidang kode etik itu, ia disebut tidak profesional dalam melaksanakan tugasnya sebagai Karo Paminal, ketika melakukan penyelidikan terhadap kasus penembakan yang terjadi di rumah dinas Mantan Kadiv Propam Ferdy Sambo, di Kompleks Polri Duren Tiga, Jakarta Selatan.
Peristiwa penembakan yang terjadi pada Jumat (16/12) itu diketahui telah menewaskan ajudan Sambo, yakni Brigadir J alias Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat.
Atas keputusan tersebut, Hendra mengajukan banding atas hasil persidangan yang akhirnya menetapkan tetap dijatuhi Pemberhentian Tidak Dengan Hormat (PTDH) dari kepolisian.
Baca Juga: Simak, Ini 5 Poin Penting Pada Persidangan Hendra Kurniawan dan Agus Nurpatria Kemarin
"Di sidang kode etik Polri, putusannya pemberhentian dengan tidak hormat. Betul, tapi upaya banding ya," ujar Hendra, dalam persidangan.
Sebelum diputuskan untuk mendapat sanksi PTDH, ia sempat menerima sanksi berupa demosi tanpa memiliki jabatan apapun, dan dimutasikan sebagai Perwira Tinggi Pelayanan Markas (Pati Yanma) Polri.
"Didemosi karena dimutasikan sebagai Pati Yanma, karena permasalahan kode etik. Di kode etik, kami diperiksa terkait masalah pertanggungjawaban sebagai Kepala Biro (Paminal), di mana dinilai kurang profesional," ujar Hendra.
Adapun, sanksi-sanksi tersebut diterima atas keterlibatannya dalam kasus pembunuhan Brigadir J. Ia diduga menghalang-halangi penyidikan atas kasus tersebut, sehingga akhirnya menjadi terdakwa dalam perkara perintangan penyidikan (Obstruction of justice) pembunuhan Brigadir J.
Ia didakwakan atas Pasal 49 jo Pasal 33 UU Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik jo Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP.