Jakarta, Gatra.com - Sekretaris Jenderal Aliansi Masyarakat Tembakau Indonesia (AMTI), Tri Hananto Wibisono mengatakan bahwa masih banyak regulasi eksesif dan tidak komprehensif yang mengelilingi sektor pertembakauan. Bahkan, komitmen pemerintah untuk membangun ekosistem pertembakauan di tingkat hulu maupun hilir masih minim.
Padahal, dalam paparan Rapat Kerja Kementerian Keuangan Bersama DPR RI pada Senin (12/2), target penerimaan negara dari cukai hasil tembakau (CHT) telah mencapai Rp1.580 triliun atau 106,4% dari target. Hananto menyebutkan, di tahun depan proyeksi penerimaan CHT naik mencapai Rp245,45 triliun.
"Dengan segala daya dan upaya, sektor pertembakauan berhasil mencapai target dan memberikan kontribusi besar terhadap penerimaan negara," katanya di Jakarta, Kamis (15/12).
Hananto mencontohkan, narasi-narasi terhadap revisi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 109 Tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan Yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau Bagi Kesehatan masih terus digaungkan. AMTI bersama mata rantai ekosistem pertembakauan telah bersurat kepada Presiden untuk memohon perlindungan dan menyampaikan aspirasi untuk menolak revisi PP 109 Tahun 2012 dalam bentuk regulasi apapun.
Di sisi lain, lanjutnya, regulasi seperti Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) maupun Perda Kawasan Tanpa Rokok (KTR) juga masih banyak yang tidak harmoni dengan peraturan perundangan di atasnya. Ditambah lagi dengan kentalnya unsur intervensi asing seperti dalam momentum gelaran 7th Asia Pacific Summit Mayors APCAT yang di dalamnya hadir sejumlah lembaga asing.
"Pada hajatan internasional tersebut, secara terang-terangan lembaga asing menjadi sponsor untuk mengatur kebijakan tembakau di Indonesia," ucapnya.
Ia juga berpendapat bahwa empat pilar dalam penentuan kebijakan seperti pengendalian konsumsi, keberlangsungan tenaga kerja, optimalisasi penerimaan negara, dan peredaran rokok ilegal juga tidak berimbang. Dalam hal pengendalian konsumsi, misalnya, Kementerian Keuangan yang menentukan kebijakan fiskal justru berlandaskan data tebang pilih.
"Industri hasil tembakau juga sejalan dengan pemerintah untuk memerangi perokok usia muda. Namun, data yang menjadi acuan tidak jelas," tegasnya.
Ia mengatakan, data yang digunakan pemerintah justru data Riskesdas yang berbeda dengan data Badan Pusat Statistik (BPS). Data BPS menunjukkan bahwa konsumsi rokok pada kelompok umur di bawah 18 tahun telah berada di angka 3,44%.
"BPS ditunjuk sebagai lembaga pengelola data, satu data Indonesia. BPS bertanggung jawab untuk mengumpulkan dan mengelola data namun kebijakan yang diambil seolah meragukan akurasi dan validitas data BPS," kata Hananto.