Jakarta, Gatra.com – Hakim Agung Mahkamah Agung (MA) 2011–2018 menilai pernyataan Wakil Ketua (Waka) MA Bidang Non Yudisial, Sunarto, tidak dapat memberangus mafia atau makelar kasus (Makrus) penanganan perkara di MA sangat mengkhawatirkan.
“Ini lebih mengkhawatirkan lagi kalau beliau mengatakan seperti itu,” kata Gayus usai menjadi pembicara dalam diskusi bertajuk “Pembenahan Lembaga Peradilan Sebuah Solusi di Tengah Ketidakpastian Penegakan Hukum di Indonesia” yang dihelat Lembaga Eksaminasi Hukum Indonesia (LEHI) dan Asosiasi Pimpinan Perguruan Tinggi Hukum Indonesia (APPTHI) di Jakarta, Rabu (14/12).
Baca Juga: Sengkarut Peradilan, Gayus Lumbuun: Menkopolhukam Segera Kumpulkan Pakar Hukum
Ia menilai demikian, karena menurutnya kondisi peradilan, mulai tingkat pertama hingga MA sudah dalam keadaan mengkhawatirkan. Pasalnya, masih marak terjadi jual-beli perkara sehingga peradilan tidak memberikan keadilan kepada masyarakat.
Berdasarkan data dari Komisi Yudisial (KY), kata Gayus, pada tahun 2021, terdapat 85 orang hakim yang melakukan perbuatan tidak terpuji itu. Sedangkan untuk tahun 2022 belum dihitung, namun perilaku itu tetap terjadi.
Teranyar, ujar Gayus, dua hakim agung, yakni Sudrajat Dimyati dan Gazalba Saleh serta dua hakim yustisi Elly Tri Pangestu dan Prasetio Nugroho ditetapkan sebagai tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) karena diduga menerima suap terkait penanganan perkara.
“Hakim agung ada dua, mungkin lebih ini. Kalau menurut KPK masih terus akan diamati, besar kemungkinan akan bertambah,” ujar Gayus yang juga pembina LEHI ini.
Pria yang kini mendapuk Guru Besar Hukum Universitas Krisnadwipayana (Unkris) tersebut, lebih jauh menyampaikan, kondisi itu menunjukkan bahwa karut marut lembaga peradilan ini masih belum berhasil diatasi.
“Ini membuat karut-marutnya pengadilan. Persoalannya kita harus ada penataan baru di pengadilan,” katanya.
Karena itu, Gayus menilai pernyataan Wakil Ketua MA Bidang Non Yudisial, Sunarto, tersebut sangat mengkhawatirkan karena seolah-olah telah menyerah untuk melakukan perbaikan atau melawan makelar kasus (Markus).
“Wakil ketua MA menyuarakan sudah patah semangat, sudah angka tangan untuk memberantas mafia peradilan, kalau betul beliau mengatakan seperti itu, mudah-mudahan tidak seperti itu,” katanya.
Gayus menyampaikan, kalau itu merupakan pernyataan lembaga, maka dikhawatirkan teori kejahatan yang berdaulat akan tetap hidup di lembaga peradilan. Artinya, kejahatan kalau sudah tidak sanggup lagi diatasi atau diberantas, maka akan berdaulat.
“Dia [kejahatan] berdaulat. Jangan sampai kejatan berdaulat, maka pimpinan MA jangan patah semangat,” ucap Gayus tegas.
Namun kalau pimpinan MA ternyata sudah patah semangat, lanjut Gayus, maka Presiden harus turun tangan karena MA berada di bawah presiden. Presiden harus melakukan pembenahan karena itu merupakan bagian dari kewenangannya.
”Untuk independensinya kan perkara, tidak mencampuri, dia harus mandiri. Tapi urusan lembaga, urusan mendirikan pengadilan, mengangkat hakim dan hakim agung itu urusan presiden,” katanya.
Baca Juga: Hakim Agung Kembali Terjerat Kasus, Gayus Lumbuun Minta Presiden Reformasi MA
Sebelumnya, Sunarto mengatakan, menyerah untuk memberangus Markus. “Menghilangkan Markus? Mohon maaf saya angkat tangan. Tetapi meminimalisir insyaallah kita akan lakukan,” katanya kepada wartawan pada Jumat (9/12).
“Mengurangi ruang geraknya kita bisa lakukan. Tetapi menghilangkan, kita sama sekali enggak, susah,” ucapnya.