Jakarta, Gatra.com – Akademisi Universitas Paramadina Septa Dinata mengatakan, wacana perubahan periodesiasi jabatan presiden pada dasarnya tidak ada masalah dalam iklim demokrasi. Menurutnya, wacana ini tidak perlu dilarang tapi biarkan argumentasi ini diuji secara terbuka di ruang publik. Mengubah UUD 1945 sangat mungkin secara hukum terlepas dari tingkat kesulitannya yang tinggi.
“Dalam demokrasi, kita tidak bisa melarang isu ini berkembang. Secara konstitusi kita adalah negara demokratis dan isu ini boleh-boleh saja muncul kembali dan mungkin akan semakin intens kedepannya. Artinya secara hukum dan politik tidak masalah sama sekali, terlepas kita setuju atau tidak dengan wacana tersebut. Sebagai sebuah gagasan, isu ini tidak bisa dibatasi atau bahkan dilarang,” kata Septa Dinata saat dihubungi, Selasa (13/12).
Wacana tiga periode awalnya dicetuskan oleh Direktur Eksekutif Indo Barometer M. Qodari yang kemudian mendapat sambutan baik dari berbagai pihak, termasuk Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan, Menteri Investasi Bahlil Lahadalia, Ketua MPR RI Bambang Soesatyo, Ketua DPD RI LaNalla Matalitti, dan beberapa tokoh lainnya.
“Isu ini cukup argumentatif. Kalau kita lihat ke belakang, pionir gagasan ini adalah Qodari. Selain aktivis beliau juga punya kapasitas intelektual yang baik. Argumennya dikembangkan cukup solid meskipun tidak ada argumen yang kebal kritik," ungkapnya.
Menurut Septa, Qodari merupakan sosok yang paling serius mengembangkan gagasan ini dan mempertahankannya di banyak kesempatan.
"Dan yang tak kalah penting argumen-argumennya berbasis evidence. Boleh dikatakan, Qodari adalah Profesornya Wacana 3 Periode lah,” ujarnya.
Septa menilai, wacana tiga periode yang digagas Qodari ini tampak memiliki implikasi yang cukup luas. Meskipun pada awalnya dilihat tidak terlalu serius. Indikasinya adalah bahwa wacana ini disambut oleh banyak orang-orang yang memiliki posisi penting secara politik.
“Saya menilai Qodari yang paling konsisten, persisten, dan konsekuen dengan wacana ini. Sampai sekarang saya melihat beliau belum beranjak dan menurut saya yang paling berani dalam mempertahankan gagasan ini," terangnya.
Gagasan yang digaungkan Qodari, lanjut Sapta, dampaknya mulai terasa. Ada LBP, Zulkifli Hasan, Muhaimin, Bahlil, Airlangga dan terakhir salah satu pimpinan lembaga negara, Bamsoet, yang ikut mereproduksi wacana ini.
"Yang terakhir ini mengindikasikan bahwa isu ini memasuki fase yang lebih serius karena MPR RI ini kuncinya untuk amandemen UUD 1945,” ucapnya.
Septa juga ikut menyoroti informasi yang beredar tentang daftar 12 nama yang dianggap sebagai promotor isu tiga periode dan penundaan pemilu. Dari nama-nama tersebut, M. Qodari ada di urutan pertama.
“Sangat wajar jika Qodari diletakkan pada urutan pertama karena, menurut saya, disamping hal-hal yang sudah saya sampaikan tadi, Qodari juga perlu mendapat kredit karena ia adalah yang paling berani menghadapi banyak tantangan dan yang paling penting adalah posisi Qodari adalah mewakili masyarakat sipil. Dibandingkan sosok-sosok lain yang hampir semuanya ada di pemerintahan, Qodari adalah yang paling otentik,” pungkasnya.