Jakarta, Gatra.com - Penolakan terkait pasal penghinaan terhadap presiden dan lembaga negara dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang baru disahkan Selasa (6/12) lalu masih banyak diserukan. Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM) (Wamenkumham) Edward Omar Sharif Hiariej menjelaskan pasal-pasal yang menjadi kontroversi tersebut.
"Mengenai isu kebebasan berpendapat, bahwa KUHP dengan tegas telah membedakan krtik dengan penghinaan. Kritik tidak akan dipidana karena untuk kepentingan umum, sementara penghinaan kepala negara dan lembaga negara di negara manapun merupakan perbuatan tidak terpuji," ujarnya dalam konferensi pers yang digelar secara hybrid, Senin (12/12).
Eddy menegaskan bahwa pasal ini merupakan bentuk delik aduan. Artinya, yang bisa melaporkan hanya presiden atau wakil presiden, serta ketua lembaga negara terkait. Masyarakat dari pihak pendukung maupun bukan pendukung, tidak akan bisa mengadukannya sehingga tidak ada proses hukum yang berjalan.
Sebagai informasi, di dalam KUHP baru, pasal 218 berbunyi bahwa (1) Setiap Orang yang Di Muka Umum menyerang kehormatan atau harkat dan martabat diri Presiden dan/atau Wakil Presiden, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau pidana denda paling banyak kategori IV. Sementara pada ayat (2) berbunyi bahwa Tidak merupakan penyerangan kehormatan atau harkat dan martabat sebagaimana dimaksud pada ayat (1), jika perbuatan dilakukan untuk kepentingan umum atau pembelaan diri.
Sementara, larangan penghinaan terhadap lembaga negara diatur dalam Pasal 240-241. Sama seperti pasal 218, tindak pidana hanya dapat dituntut berdasarkan aduan pihak yang dihina.
Dalam perumusannya, Eddy menerangkan bahwa pada awalnya, pasal penghinaan dikhususkan bagi empat pihak. Keempatnya yakni pidana bagi penyerangan harkat martabat presiden dan wakil presiden, penghinaan kepada pemerintah, penghinaan terhadap kekuasaan umum, serta penghinaan terhadap pejabat negara. Namun setelah menerima masukan dari berbagai kelompok masyarakat, ia menyebutkan bahwa terjadi pengurangan di dalam aturannya.
"Yang di-cut ada dua pasal, ditake out yang penghinaan terhadap pejabat negara dan kekuasaan umum. Itu kita batalkan," ucapnya.
Lebih lanjut, Eddy menerangkan bahwa di dalam pasal yang baru, larangan penghinaan kepada pemerintah di dalamnya termasuk lembaga negara. Isinya tidak seluruh lembaga negara melainkan dibatasi. Lembaga legislatif terbatas pada MPR, DPR, DPD, sementara lembaga yudikatif terbatas pada MK dan MA.
"Persoalan penghinaan itu sendiri sangat strict kita atur dalam penjelasan. Bahkan dalam penjelasan sudah mengatakan bahwa pasal ini tidak dimaksudkan untuk membungkan demokrasi, kebebasan berekspresi dan berpendapat," katanya.
Dalam penjelasan Pasal 240 KUHP, dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan “menghina” adalah perbuatan yang merendahkan atau merusak kehormatan atau citra pemerintah atau lembaga negara, termasuk menista atau memfitnah. Menghina berbeda dengan kritik yang merupakan hak berekspresi dan hak berdemokrasi, misalnya melalui unjuk rasa atau menyampaikan pendapat yang berbeda dengan kebijakan pemerintah atau lembaga negara.
Atas dasar itu, Eddy menyebutkan bahwa dalam berdemokrasi, kritik menjadi hal yang diperlukan, terutama sebagai kontrol sosial. Untuk itu ia mengatakan bahwa kebebasan berpendapat tidaklah dibatasi melalui pasal ini.