Home Ekonomi Sengkarut Stok Beras Pemerintah, Impor Dinilai Bukan Solusi Tepat

Sengkarut Stok Beras Pemerintah, Impor Dinilai Bukan Solusi Tepat

Jakarta, Gatra.com - Gonjang-ganjing stok beras Bulog yang menipis di akhir tahun membuat pemerintah kelabakan. Pasalnya, akhir tahun ini produksi beras di Tanah Air cenderung menurun sehingga hasil produksi yang diserap Bulog minim. Alasan mengamankan cadangan untuk stabilisasi harga dan kebutuhan mendesak membuat pemerintah buru-buru mengambil jalan instan melalui impor.

Ketua Umum Asosiasi Bank Benih dan Teknologi Tani Indonesia (AB2TI), Dwi Andreas, mengatakan cara yang tepat bagi pemerintah mengatasi masalah stok beras Bulog sebetulnya adalah dengan menaikkan harga pembelian pemerintah (HPP) gabah kering panen (GKP) di tingkat petani. Bukan malah impor di akhir tahun.

Berdasarkan perhitungan AB2TI, seharusnya saat ini HPP GKP di petani sebesar Rp6.000 per kilogram. Sementara pemerintah masih mematok HPP GKP di harga Rp4.450 per kilogram.

"Jadi harusnya HPP yang diperhatikan pemerintah, sehingga tidak terjadi kisruh seperti sekarang ini," ujar Andreas saat dihubungi Gatra.com, Jumat (9/12).

Andreas menjelaskan, kenaikan HPP didasari meningkatnya biaya produksi GKP yang dialami petani. Kenaikan harga hampir terjadi di semua faktor produksi mulai dari bahan bakar minyak (BBM), sewa lahan, tenaga kerja buruh tani, hingga input vital seperti pupuk dan pestisida.

Pendeknya, menurut hitung-hitungan Andreas bersama petani AB2TI, rata-rata harga komponen produksi GKP di petani naik sekitar 30% dalam tiga tahun belakangan. "Pupuk yang non-subsidi itu kan gila-gilaan naiknya," ia menambahkan.

Karena itu, harga biaya produksi satu kilogran GKP yang mencapai Rp5.667, dengan HPP yang meningkat menjadi Rp6.000 per kilogram, seharusnya sudah bisa membantu petani lebih sejahtera.

Andreas pun yakin apabila pemerintah segera menetapkan kenaikan HPP GKP petani menjadi Rp6.000 per kilogram, pengadaan stok beras pemerintah di Bulog bakal lancar. Ia menyebut, penetapan HPP GKP petani bisa ditetapkan pemerintah sebelum panen raya mulai pada Maret 2023 mendatang.

"Kami mendesak teman-teman di Kemenko Perekonomian. Ini HPP harus segera dinaikkan karena menyengsarakan petani. Ini kalau pemerintah mau membina petani kecil. Kalau enggak, ya, sudah kita bakal impor-impor saja terus," imbuhnya

Sementara itu, Ketua Umum Perkumpulan Penggilingan Padi dan Pengusaha Beras Indonesia (Perpadi), Sutarto Alimoeso juga berpandangan sama. Pemerintah seharusnya segera menaikkan HPP mulai dari GKP, GKG (gabah kering giling), hingga beras Bulog.

"Tapi yang jelas kalau Rp4.450 sudah tidak masuk, tidak relevan," kata Sutarto saat dihubungi Gatra.com, Kamis (8/11).

Kendati begitu, Sutarto menegaskan bahwa kenaikan HPP juga harus diimbangi dengan penyesuain harga eceran tertinggi (HET) beras. Musababnya, kata dia, HPP ini akan menjadi patokan harga beras di masyarakat.

"Itu seharusnya yang menghitung Kementan, kami palingan memberi masukan yang kaitannya dengan biaya keluar," ucapnya.

Menteri Pertanian, Syahrul Yasin Limpo pun sebenarnya juga sependapat. Saat para pejabat dan legislator sibuk menyebut-nyebut impor, ia justru vokal menyuarakan penyesuaian HPP beras dan gabah petani. Ia yakin peningkatan HPP dapat mengoptimalkan penyerapan beras oleh Bulog. Negara, menurutnya, memang perlu turun tangan ikut membuat kesepakatan bersama petani dan penggilingan.

Berdasarkan Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 24 Tahun 2020 tentang Penetapan HPP untuk Gabah atau Beras, HPP beras untuk pengadaan Bulog ditetapkan sebesar Rp8.300 per kilogram yang kemudian dalam Rakortas disetujui naik menjadi Rp8.800 per kilogram. Adapun untuk HPP GKP dari Rp4.200 per kilogram naik menjadi Rp4.450 per kilogram dan GKG dari Rp5.250 per kilogram naik menjadi Rp5.550 per kilogram.

Namun, menurut Mentan, HPP yang termaktub di Permendag tersebut belum memadai di tengah kenaikan biaya produksi dan dinamika ekonomi di masyarakat. "Kita singgung terus melakukan kalibrasi untuk Bulog menyesuaikan harga yang ada," imbuhnya.

Penghapusan HET

Di sisi lain, Dwi Andreas menegaskan bahwa kenaikan HPP seharusnya juga diikuti dengan penghapusan harga eceran tertinggi (HET) beras. Pasalnya, menurut dia, HET beras selama ini hanya menguntungkan penggilingan besar lantaran mereka bisa memproduksi beras premium yang HET-nya bisa mencapai Rp12.800 per kilogram.

Sementara penggilingan kecil, kata Andreas, karena kekuatan produksinya terbatas, hanya mampu memproduksi beras medium yang berkisar di HET Rp9.450 per kilogram. Padahal harga pembelian GKP di tingkat petani cenderung sama.

"Siapa yang untung? Pengusaha besarlah. Untuk itu HET dihapus saja, karena selama ini yang mencelakakan sedulur tani itu HET juga," ujar Andreas.

Karena itu, alih-alih mengerahkan Satgas Pangan untuk menakut-nakuti pedagang retail yang menjual di atas HET, Andreas mendorong pemerintah sebaiknya segera menggantikan HET dengan harga batas atas. Nantinya harga batas atas itu hanya akan menjadi patokan pemerintah dalam upaya stabilisasi harga

Misalnya, Andreas menjelaskan, pemerintah menetapkan harga batas atas Rp13.000 per kilogram. Saat harga beras di pasaran sudah mencapai batas itu, barulah pemerintah menggelontorkan stok berasnya untuk stabilisasi harga. Meskipun penghapusan HET nantinya beresiko pada kenaikan harga beras di konsumen, menurut dia, kenaikan yang terjadi tidak bakal signifikan.

"Kenaikannya tidak akan terlalu tinggi. Katakan, GKP itu Rp6.000 (per kg), itu sampai beras premium kira-kira Rp13.000 (per kg), sekarang HET premium kan masih Rp12.800 (per kg), terpautnya kecil," imbuh Guru Besar dan Kepala Pusat Bioteknologi Institut Pertanian Bogor itu.

Inflasi Jadi Alasan

Sebelumnya, Direktur Utama Perum Bulog, Budi Waseso alias Buwas pun mengakui Bulog tak sanggup melakukan penyerapan hingga 1,2 juta ton beras dari dalam negeri hingga akhir tahun ini. Ia pun akhirnya memberi sinyal opsi importasi.

Pasalnya, menurut Buwas, harga beras di tingkat petani maupun penggiling sudah kepalang tinggi di kisaran Rp10.500 - Rp11.000 per kilogram. Pemenuhan beras dari dalam negeri dikhawatirkan Buwas dapat memicu inflasi di masyarakat lebih tinggi lagi. Selain itu, Buwas menyebut ketersediaan beras di lapangan memang cenderung terbatas di periode musim ini.

"Saya sudah sampaikan ke Badan Pangan Nasional bahwa kita harus cepat mengambil langkah alternatif untuk memenuhi kebutuhan ini. Kalau kita mendatangkan dari luar itu juga harus secepat mungkin," ujar Buwas dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) bersama Komisi IV DPR RI pada Rabu (16/11).

Kepala Badan Pangan Nasional, Arief Prasetyo Adi menyebut pembelian beras dari dalam negeri hanya akan berpotensi memicu inflasi lebih tinggi karena harga beras yang sudah naik. Hal itu menjadi alasan mengapa pembelian beras secara komersial oleh Bulog juga dibatasi di harga maksimal Rp10.200 per kilogram.

"Kalau inflasi tinggi maka tidak sesuai dengan perintah presiden," katanya.

222