OKI, Gatra.com - Senyum ramah tergurat pada wajah yang mulai menua. Perjalanan panjang yang dilalui dari tempat tinggal di pesisir Makassar, Keluarahan Pattingalloang, Kecamatan Ujung Tanah, Sulawesi Selatan (Sulsel), menuju pesisi Timur Ogan Komering Ilir (OKI), Sumatera Selatan (Sumsel), tidak menunjukkan mimik lelah.
Dia adalah Dra Hj Nuraeni, enterpreneurship yang terjun untuk memperjuangkan nasib para nelayan di pesisir Ayam Jantan dari Timur julukan Kota Makassar, Sulsel. Usaha yang digeluti juga sangat erat dengan warga pesisir, yakni membuat olahan makanan berbahan baku ikan laut yang kini telah menembus pasar-pasar lokal dan minimarket.
Perjuangan untuk bertahan hidup bersama tiga putranya, merupakan titik terendah yang dialami setelah ditinggal sang suami yang telah berpulang kepada sang pemilik hidup lantaran penyakit jantung yang diderita pada 2004. Sebagai ibu rumah tangga (IRT) yang biasa menunggu kepulangan belahan jiwa dari tempat kerja sebagai karyawan di perusahaan milik negara, semua itu hilang begitu saja.
Cemoohan dan stigma negatif dari keluarga dan para tetangga membuatnya benar-benar tidak berdaya, sehingga beberapa kali ingin mengakhiri penderitaan dengan jalan yang dibenci Tuhan. Dan di tengah keputusasaan, sebagai umat beragama yang taat ia tersadar lalu bangkit meyakinkan diri menghadapi cobaan serta tanggung jawab kepada tiga anaknya.
"Dari cerita hidup saya yang susah setelah suami meninggal, benar-benar dalam situasi yang lemah dan susah. Tapi semua berbalik, dan sejak itu saya bertekad untuk melakukan sesuatu setidaknya agar saya dan ketiga anak bisa bertahan hidup. Pengusaha 'the power of kepepet'," tuturnya mengisahkan dengan tetap tersenyum meski terlihat jelas ada kepedihan yang dirasakan 21 tahun silam.
Dalam kebudayaan di Sulsel, bagi kaum istri ada yang namanya budaya siri (malu). Tugas istri mengurus rumah tangga, karena yang wajib bekerja adalah suami. "Hal ini juga pada akhirnya membuatnya kalut, karena memang terbiasa menerima uang dari jerih payah suami. Nah, begitu suami tiada maka semua harus meraba-raba dengan berbagai penilaian dari orang," katanya.
Singkat cerita, setelah semua kenangan pahit mulai sirna, alumni Sospol Universitas Hasanuddin (Unhas), dirinya memulai usaha dengan memaksimalkan kemampuannya memasak. Dan ini pertama yang ada dalam benaknya untuk menghasilkan pundi-pundi uang. Meski tidak langsung berhasil, dengan tekad yang kuat perlahan usahanya dapat berjalan meski skala kecil.
"Saya tinggal di pesisir, dan memulai keberuntungan mengolah ikan tuna menjadi abon. Karena hal ini cukup sederhana dan bisa bertahan lama," tuturnya yang terlihat bersemangat menceritakan kerja kerasnya hingga dapat ia rasakan hasilnya yang manis.
Dalam buku yang mengisahkan hidupnya "Nuraeni dan Pemberdayaan Wanita Pesisir" diceritakan bahwa modal awal untuk membuat olahan abon, bermula Rp1,5 juta dan itu didapat patungan bersama 5 hingga 6 ibu-ibu nelayan yang dapat diyakinkannya membangun usaha olahan ikan. Sebagian modalnya didapat dengan utang.
"Saat itu 2007, saya melihat ada hal yang salah di Tempat Pelelangan Ikan (TPI) Pautere Makassar. Ketergantuang nelayan dengan tengkulak, jerih payah dilaut terkadang tidak sesuai dengan yang dihasilkan. Utang selalu menjerat mereka," kata wanita kelahiran Ujungpandang, 6 Agustus 1969.
Mendekati Para Istri
Kerasnya kehidupan masyarakat pesisir di sadari, sehingga komunikasi dilakukan kepada kaum istri. Dari sana Ibu Nur (begitu ia disapa), menyelami satu persatu permasalahan yang dihadapi walau sedikit banyak sudah ia ketahui.
"Permasalahan mereka cukup kompleks. Sudah pasti masalah ekonomi. Di situ saya juga tahu kalau tingkat kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) cukup tinggi menimpa para anak-anak dan istri," jelasnya.
Sambil mejalankan usaha yang bertempat di rumahnya, Ibu Nur perlahan melepas mereka dari cengkeraman tengkulak dengan terus meningkatkan produksi dan usaha yang ditekuni. Kelompok Wanita Nelayan (KWN) Fatimah Az-Zahra berdiri dan menjawab persoalan. Melepas himpitan ekonomi, KDRT dan image tidak terpelajar dirangkai menjadi warna hidup yang mandiri.
"Melaut para suami mencari ikan juga ada waktu, dengan kata lain situasi sulit akan menghimpit. Di situlah mereka menagndalkan lintah darat atau tengkulak untuk meminjam hingga bisa melaut. Kemiskinan istri yang merasakan, maka mereka didorong untuk setidaknya memenuhi kebutuhan. Bisa dikatakan, di laut tugas suami, di darat ada usaha istri," katanya.
Berjalannya waktu, masalah satu persatu mulai terurai ia pun beranjak ke situasi untuk meuwudkan prestasi yang terpendam dari generasi nelayan pesisir. Baginya, dibalik ketidak tahuan yang minimnya kesempatan yang didapat anak-anak nelayan, tersimpan kecerdasan setelah mendapat sentuhan pengetahuan.
"Sebagaimana kita tahu, kemiskinan dan kebodohan akan membentuk karakter seseorang tidak baik. Di dalam agama Islam juga ditegaskan. Maka saya membuat tempat belajar bagi anak-anak di pesisir," ujarnya.
Sekolah Anak Percaya Diri
Dari berbagai persoalan yang diapat di kampung nelayan Pesisir Makassar, solusi tepat dari situasi yang dihadapi tidak lain adalah sial edukasi (pendidikan). Bukan tidak ada perhatian dari pemerintah, tapi pemberlakukan kepada mereka memang beda. Terbiasa di alam, akan berbeda dengan mereka yang selalu berada di rumah dan berkecukupan.
"Saya meyakini mereka (anak pesisir) memiliki potensi, hanya saya mungkin kesempatan mereka yang menghalani. Makanya saya membuat Sekolah Anak Percaya Diri, rata mereka yang terisolasi dan korban KDRT," ungkapnya.
Saat ini sudah ada 79 anak asuh ayang akan didik untuk mengantarkannya di kehidupan yang lebih baik ke depannya. Bahkan di antara anak asuhnya, ada yang sudah mencapai cita-cita sebagai abdi negara (militer). Dengan haru dan bangga ia pun menceritakan perubahan yang dialami anak asuhnya. Tidak terkecuali anak kandungnya yang juga menjalani kehidupan lebih baik.
"Kunci dari semua permasalahan di dunia adalah pendidikan. Jika pendidikan didapat dengan baik, saya yakin persoalan lainnya akan terselesaikan," katanya.
Menurutnya, orang yang dibida bukan hanya dari kalangan istri dan anak nelayan saja, melainkan juga perhatiannya didedikasikan kepada wanita lanjut usia yang sudah tidak bisa bekerja keras. Sementara di rumah tidak mendapat perhatian di penguhung usia.
"Dengan mendapat perhatian, justru mereka tidak mau hanya menadahkan tangan. Kita ajari mereka membuat asinan cabai yang ternyata banyak peminat dan menjadi penghasilan mereka," katanya.
Merubah Paradigma
Kisah kelam hidupnya sudah dikubur dalam-dalam. Yang ada saat ini Ibu Nur, mencurahkan sisah hidupnya untuk merubah paradigma wanita pesisir memiliki nilai luhur salah satunya bersama KWN Fatimah Az-Zahra.
Kegigihan membangkitkan ekonomi dan edukasi kampung pesisir, membawanya untuk menjngkau yang lebih luas ke pesisir di Indonesia. Selain memijakkan kaki untuk pertama kali di Sumsel, ia juga sudah banyak memberikan motifasi dan pendampingan keterampilan mengolah ikan di sebagian Pulau Sulawesi, Papu, Maluku dan lainnya.
"Usaha yang kami bangun sendiri melalui kelompok usaha yang kami rintis sudah berbuah berkah, cukup untuk mengidupi anggota. Setidaknya saat ini kami bisa memproduksi hasil olahan ikan 1-2 ton di masa Covid-19. Sebelumnya lebih dari 3 ton, dan sekarang sudah mulai ke angka sana," katanya.
Olahan ikan yang diproduksi berupa abon, nuggate, otak-otak dan bakso. Umumnya mereka menggunakan ikan tuna, yang relatif terjangkau. Jenis ini dikelola bagi kaum wanita yang kini anggota kelompok usahanya sudah mencapai 600 orang. Selain itu, ada juga asaman cabai yang ini khusus kegiatan wanita lanjut usia.
"Melalui peran mereka, usaha ini bisa terbangun. Saya tidak akan mengatakan bahwa menjadi jerih payah saya, karena memang kegigihan dan semangat mereka terus mendorong saya untuk meningkatkan usaha yang kami bangun. Seperti asaman cabai, terlihat sederhana, dalam kemasahan botoh berukuran kecil saat ini diproduksi mencapai 2000 botol setiap bulan untuk memenuhi pesanan," jelasnya.
Lagi-lagi semua itu tidak didapat dengan mudah. Bahkan dirinya harus mengabaikan rasa malu dan tatapan sebelah mata, untuk menjajakan hasil olahannya ke warung-warung dan minimarket di sekitar Kota Makassar. Untuk bisa memajang di rak dagangan minimarket bahkan dirinya harus berkali-kali mendatangi pengelolanya.
"Saya juga pernah meminta anggota untuk turut memasukkan ke toko-toko. Saya katakan, kalau malu sendirian ajak kawan dua orang, jadi kalau malu tidak banyak-banyak karena ada dua lainnya yang ikut menanggungnya," selorohnya yang sontak memuat susana tawa, walau kisah pilu namun terkesan lucu ketika mendengarnya.
Dari berbagai kisah yang diceritakan, tidak ada niatan untuk menyombongkan diri, melainkan niat tulusnya untuk memotivasi bagi kaum istri agar semangat tidak hanya berpangku atas hasil suami. Yang tidak kalah penting rasa percaya diri dan semangat harus dipompa, dan jangan pernah berputus asa.
"Karena tantangan di lapangan terkadang tidak sesederhana yang dipikirkan. Meski kita sudah bersusah payah, kita sudah di tahap berada tidak jarang ada pihak-pihak yang sesukanya memanfaatkan kita. Jangan dikira begitu sukses semua mudah, bahkan kami pernah ditipu hingga Rp200 juta dari tangan-tangan 'mafia' UMKM yang serakah," kenangnya.
Keputusasaan, hinaan, kegagalan hingga penipuan dianggap sebagai warna kehidupan untuk mencapai kesuksekan. Semua dianggap sebagai pengalaman yang berharga sehingga dapat mengantisipasinya di kemudian hari tanpa harus merugi yang cukup tinggi.
Torehan kegigihan dan keberhasilan, membuatnya banyak dikenal masyarakat tanah air. Ia juga kerap diundang ke acara-cara statisun televisi untuk berbagai pengalaman sebagai motivasi bagi wanita Indonesia. Ibu Nur dengan kelompok usahanya juga kerap mendapat penghargaan, dan perhatian untuk terus berkiprah membangkitkan semangat para wanita.
Istri Pesisir OKI
Kehadirannya di OKI, diprakarsa Yayasan Konservasi Alam Nusantara (YKAN) memalui program Mangrove Ecosystem Restoration Alliance (MERA) untuk membagikan keterampilan dan menangangi masalah yang dihadapi untuk meningkatkan usaha olahan ikan bagi kaum istri petani tambak di Desa Simpang Tiga Abadi, Kecamatan Tulung Selapan, dan Desa Sungai Lumpur, Kecamatan Cengal, Kabupaten OKI, Sumsel.
Para ibu-ibu dilatih mengolah ikan bandeng menjadi abon, bandeng presto dan nugget. Sumber daya atas usaha tambak para suami yang terbilang melimpah, didorong mengembangkan sebagaimana yang dikelola di kampung halamannya.
"Kalau di sini ikan bandeng yang terjangkau. Kalau di Makassar ikan tuna yang murah. Bahkan untuk hasil olahan abon bandeng, bisa dijual dengan ukuran yang sama lebih mahal. Tentu karena bahan bakunya yang susah. Kalau di sini ikan tuna yang mahal," ucapnya.
Antusias para ibu-ibu petani tambak menyerap dan mempraktekkan mulai membersihkan ikan hingga membuang duri, kemudian digiling dengan resep bumbu yang memadai dilanjutkan dengan memasak hingga benar-benar menjadi abon. Sedangkan pengemasan menjadi tanggung jawab YKAN.
"Kami sangat bangga dan senang mendapat pengetahuan yang luar biasa dari Ibu Nur," tutur salah satu ibu yang dengan antusias mengikuti pelatihan, seraya menyodorkan abon untuk dicicipi.
Selain keterampilan membuat olahan ikan, Ibu Nur juga mengajak masyarakat pesisir untuk ikut menciptakan alam tertap terjaga. Seperti dikampung halamannya, bagaimana para nelayan untuk meninggalkan sistem tangkap yang merusak, seperti bom ikan yang menghancurkan karang (rumah ikan) dan membunuh biota air. Sedangkan untuk di pesisir OKI, sendiri bagimana memaksimalkan potensi sehingga alamnya (hutan mangrove) tetap terlindungi.
"Menjaga alam suatu keniscayaan yang harus kita lakukan. Apalagi kita bergantung di sini. Kita harus arif sehingga generasi kita tetap bisa menikmati alam yang tetap terpelihara dengan hasil yang melimpah," kata Ibu Nur, yang juga menceritakan beratnya menanamkan pemahaman kepada nelayan di Makassar, untuk tidak merusak.