Jakarta, Gatra.com - Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Republik Indonesia (RI) bersama pemerintah telah mengesahkan Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP) menjadi undang-undang dalam rapat paripurna hari ini, Selasa (6/12).
Wakil Koordinator Badan Pekerja KontraS, Rivanlee Anandar, menyatakan bahwa terdapat pola yang berulang kali terjadi dalam proses pengesahan undang-undang yang masih mendapat kritikan dari berbagai pihak.
"Dari konteks regulasi, negara terbiasa untuk melakukan pewajaran terhadap proses pengesahan undang-undang yang terjadi. Sialnya, dari proses RKUHP yang selama ini berjalan, kerap kali luput sama konteks nyatanya," jelasnya dalam Media Briefing Menyoal RKUHP: Catatan Kritis Atas Rencana Pengesahannya yang digelar secara hibrid, Selasa (6/12).
Hal ini berkaca pada situasi pengesahan Revisi Undang-Undang KPK pada 2019 lalu, serta pengesahan Omnibus Law pada 2020 lalu. Adanya keberulangan peristiwa disebutnya sebagai upaya dalam membungkam kritik yang disampaikan masyarakat. Ini berkaitan dengan tidak didengarnya masukan dan dorongan dari berbagai pihak dalam isi pasal yang masih dianggap bermasalah.
Kebebasan Sipil Yang Menyusut
Hal itu, kata Rivanlee, dimulai dengan pewajaran atau pembiaran yang terjadi, termasuk dalam implementasi penegakan hukum. Menurutnya, justru yang terjadi adalah munculnya situasi kebebasan sipil yang menyusut.
"Dari konteks aksi massa contohnya, diawali dengan pengetatan regulasi, dan stigmatisasi. Pada 2019 ada distigma radikal, stigma itu kemudian berubah jadi anarko. Itu proses stigmatisasi berupaya untuk membungkam kririk substansial yang disampaikan," paparnya.
Rivanlee menyebutkan bahwa proses yang seolah menjadi tahapan ini dilakukan oleh aparat penegak hukum. Biasanya, pewajaran akan mengarah pada tindak kekerasan. Menurutnya, ini merupakan konsekuensi dari pembiaran yang terjadi tanpa adanya mekanisme pemulihan yang efektif.
Hal tersebut turut berkaitan dengan model pertanggungjawaban yang dilakukan oleh pemerintah maupun aparat penegak hukum. Menurutnya, pembiaran ini membuat hal bermasalah dianggap wajar oleh pemerintah.
"Dengan situasi tidak baik, upaya kita untuk mengkritik ditekan oleh peraturan. Kita tidak memiliki ruang untuk menyampaikan kritik," katanya.
Lebih jauh, menurut Rivanlee, ini merupakan sesuatu yang harus diwaspadai. "Orang bukan lagi malas menyampaikan pendapat, tapi orang jadi enggan berpikir. Ada ketakutan yang dimunculkan melalui tindakan langsung dan regulasi yang ada, dan berdampak sedemikian rupa," ujarnya.
Seperti diketahui sebelumnya, pada rapat tingkat I yang digelar DPR bersama pemerintah pada Kamis (24/11) lalu menyepakati bahwa RKUHP akan dibawa ke papat paripurna tingkat II, Selasa (6/12). Meskipun masih mengandung sederet pasal bermasalah yang dikritik oleh berbagai kalangan, dalam UU KUHP yang disahkan tedapat 37 Bab dan 627 pasal. Adapun beberapa pasal kontroversial yang ditentang publik antara lain Pasal 218 ayat 1 dan 2 terkait Penghinaan terhadap Presiden; Pasal 192 dan 193 ayat 1 dan 2 tentang makar; Pasal 349 hingga 350 mengenai penghinaan lembaga negara; Pasal 256 mengenai pidana demo tanpa pemberitahuan; dan Pasal 263 ayat 1 mengenai berita bohong.