Jakarta, Gatra.com - Pembahasan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) dinilai belum komprehensif bagi berbagai pihak. Ketua Dewan Pengurus Public Virtue Research sekaligus Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid, menyebutkan bahwa proses perumusan RKUHP tidak dibahas sungguh-sungguh.
"Selama 2020 sampai 2022, itu periode pandemi. Kita semua disulitkan menghadapi pandemi, termasuk Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan pemerintah. RKUHP tidak dibahas sungguh-sungguh dalam tiga tahun terakhir," ujarnya dalam Media Briefing Menyoal RKUHP: Catatan Kritis Atas Rencana Pengesahannya yang digelar secara hibrid, Selasa (6/12).
Usman mengatakan bahwa klaim pemerintah yang menyebut RKUHP sebagai produk dekolonialisasi tidaklah tepat. Menurutnya, justru kemunduran yang terjadi di dalam RKUHP.
"Yang terjadi adalah rekolonialisasi, dedemokratisasi. Melepaskan prinsip demokrasi, misalnya, pada pasal penghinaan presiden," terangnya.
Menyoal Pasal-pasal Karet
Usman juga mengatakan bahwa pasal penghinaan kepada jabatan presiden dan wakil presiden tidak tepat. Menurutnya, ini membuat kesetaraan di mata hukum menjadi tidak berlaku. Selain itu, lanjut dia, jabatan presiden adalah entitas abstrak, sehingga tidak bisa dihina.
Usman mengatakan bahwa yang bisa dihina adalah manusianya, bukan jabatannya. Lebih lanjut, kata dia, perlindungan haruslah setara bagi seluruh masyarakat, sebab sama-sama seorang manusia yang tidak boleh dihina harkat dan martabatnya.
Selanjutnya, pada pasal yang berkaitan dengan penghinaan terhadap kekuasaaan hukum atau lembaga pemerintah, Usman menyebutkan bahwa ini juga tidak tepat dimasukkan. Entitasnya merupakan bentuk abstrak, dan tidak membutuhkan perlindungan lebih terkait harkat dan martabatnya.
"Di masa kolonialisme, ini digunakan untuk membungkam suara kritis dengan dalih menghina kekuasaan," ucap Usman.
Minoritas Dirugikan
Usman turut menjelaskan bahwa kelompok yang paling dirugikan dengan disahkannya RKUHP adalah kelompok minoritas, yakni pihik yang kritis terhadap pemerintah. Terjadinya kemunduran demokrasi membuat tujuan demokrasi dalam pengontrolan kekuasaan bisa menurun.
"Ini memperlihatkan betapa kebebasan sipil kita terganggu, masyarakat dirugikan, tidak bisa menjalankan hak sesuai konstitusi seperti kebebasan berpendapat," tuturnya.
Oligarki Diuntungkan
Sementaraitu, menurut Usman, kelompok oligarki menjadi pihak yang diuntungkan dengan disahkannya RKUHP menjadi undang-undang. Usman mengatakan bahwa ini berkaitan dengan perbedaan pandangan dalam menyikapi kritik antar kelompok masyarakat.
"Memang tampaknya kritik yang berlangsung dalam masa reformasi dianggap menghambat apa yang mereka bayangkan sebagai laju investasi, pengelolaan sumber daya alam demi ekonomi," paparnya.
Usman juga mengatakan pihak pemerintah berkuasa juga menjadi yang paling diuntungkan dengan disahkannya RKUHP. Sebab ruang publik semakin menyusut dan kebebasan berpendapat semakin dikecilkan. Padahal, bentuk kritik merupakan salah satu upaya menjaga kualitas demokrasi di Indonesia, termasuk dalam pengawasan terhadap jalannya pemerintahan.