Jakarta, Gatra.com- Pasal-pasal bermasalah masih menjadi ganjalan perumusan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP). Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, Citra Referandum menjelaskan pasal bermasalah yang menjadi alasan mengapa pengesahan RKUHP tidak harus dilakukan secepatnya.
"Negara tidak boleh membatasi dalam menyampaikan pendapat. Pasal pidana harkat martabat presiden sebagai jabatan, bukan individu, ini berkaitan kinerja," ucapnya dalam Media Briefing Menyoal RKUHP: Catatan Kritis Atas Rencana Pengesahannya yang digelar secara hybrid, Selasa (6/12).
Ia menyatakan bahwa dalam menyampaikan kritik, masyarakat memberi kritik dalam bagaimana kinerja pengurus negara. Selain itu, Citra menilai bahwa tim perumus harusnya bisa melihat ini bukan sebagai hukum pidana, melainkan dalam bagaimana penegakan norma sosial yang ada. Ranah kritik ini bukanlah sesuatu yang harus dihukum dengan bentuk hukum yang mengikat.
Dalam pasal pemidanaan terhadap unjuk rasa, Citra menilai bahwa hukuman pidana juga tidak tepat dilakukan. Menurutnya, akan selalu ada bentuk protes insidental tanpa pemberitahuan sebelumnya dalam situasi khusus, misalnya saat penggusuran rumah dan masyarakat melakukan demo secara langsung.
"Ketika masyarakat melakukan unjuk rasa, kepolisian wajib memberi surat tanda terima. Harusnya hanya dibubarkan kalau kita tidak menyampaikan pemberitahuan, tapi di RKUHP kalau kita tidak bisa membuktikan tanda pemberitahuan, maka masuk penjara 6 bulan," jelasnya.
Sementara dalam pasal terkait pemidanaan terhadap paham yang bertentangan dengan Pancasila, Citra menyebutkan bahwa tidak ada ukuran yang pasti tentang itu. Selain itu, adanya bentuk pembungkaman dalam berpikir menimbulkan adanya kemunduran.
"Pertanyaanya, siapa yang punya ukuran itu bertentangan dengan Pancasila? Akademisi juga nggak bisa lagi menggunakan kebebasannya untuk berpikir, menganalisis teori sosial. Ini akan memidana kelompok yang dianggap oposisi bagi pemerintah," paparnya.
Citra turut menjabarkan adanya pasal perampasan aset untuk denda individu bukanlah solusi dalam mengatasi permasalahan. Menurutnya dalam banyak kasus, masyarakat miskin cenderung menjadi korban dan tidak memiliki aset yang bisa dibayarkan.
"Kalau tidak bisa dibayarkan, yang kena penjara orang miskin. Pertanyaannya, aset mana yang mau dirampas? Padahal kalau tidak ada aset, bisa ditambah pidana. Ini hukum yang sangat eksesif," ucapnya.
Hukuman pidana dengan dimasukkan penjara secara umum dilihat Citra sebagai permasalahan baru. Selama ini, jumlah lapas yang ada di Indonesia sudah tidak dalam kapasitas yang cukup untuk menampung para pelanggar hukum.
"Situasi lapas sudah overcrowded. Banyak juga kritik, pertanyaan dari akademisi dan pegiat, apakah orang masuk penjara, setelah keluar jadi bermasayakat? Ini tidak terjawab," katanya.
Citra menilai bahwa adanya hukum pidana ini pada dasarnya bukan untuk menimbulkan efek jera. Tujuan RKUHP disahkan dinilainya memang untuk membungkam masyarakat.
"Kami bilang tetap buru-buru meskipun sudah panjang, tapi proses tidak transparan, tidak menggunakan sudut pandang hak asasi manusia. Padahal, hukum pidana paling mengikat," ujarnya.