Jakarta, Gatra.com – Sekitar 9 tahun silam, tiga dokter terdiri Dewa Ayu Sasiary Prawan, Hendry Simanjuntak, dan Hendy Siagian sempat divonis bersalah dan penjara 10 bulan karena dinyatakan terbukti melakukan kelalaian hingga mengakibatkan pasien Siska Makelty meninggal dunia.
Vonis 10 bulan penjara itu diketok Mahkamah Agung (MA) setelah menerima kasasi dari Jaksa Penuntut Umum (JPU) yang mengajukan upaya hukum lantaran Pengadilan Negeri Manado, Sulawesi Utara (Sulut), membebaskan ketiga dokter tersebut.
Dokter tersebut di antaranya sempat mendekam di lembaga pemasyarakatan sebelum Peninjauan Kembali (PK) mereka dikabulkan MA. Putusan PK menyatakan bahwa mereka tidak bersalah karena tidak melanggar SOP.
Vonis bersalah dan penjara terhadap Ayu Dkk tersebut sontak membuat para dokter melakukan berbagai aksi. Persoalan tersebut juga menarik perhatian dokter spesialis bedah dr. Errawan Ramawitana Wiradisurya.
Pria kelahiran Bandung tersebut menjadikannya sebagai studi kasus disertasinya berjudul “Tanggung Jawab Hukum Dokter Dalam Penanganan Gawat Darurat Tanpa Izin Pasien atau Keluarga di Rumah Sakit”.
“Indonesia menganut asas kebebasan berkontrak yang salah satunya adalah informed consent [persetujuan medis] melibatkan tenaga medis atau dokter dan pasien,” katanya dalam sidang ujian terbuka disertasinya di Universitas Borobudur, Jakarta Timur, Sabtu (3/12).
Dalam sidang ujian yang diketuai Rektor Universitas Borobudur, Prof. Ir. Bambang Bernanthos, M.Sc tersebut, Errawan menyampaikan, melalui perjanjian tersebut kedua belah pihak harus bertanggung jawab dan menjalankan kewajibannya masing-masing.
Persoalannya seperti yang dialami ketiga dr. Ayu Cs, yakni bagaimana kalau kondisi pasien dalam keadaan gawat dan tidak sadarkan diri serta pihak keluarga tidak dapat dihubungi.
Sedangkan pasien, kata Errawan, harus segera mendapat pertolongan demi keselamatan paisen tanpa harus memperoleh persetujuan terlebih dahulu, sehingga tidak terlaksana informed consent dalam perjanjian terapeutik.
Dalam Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran, informed consent dalam perjanjian terapeutik merupakan kewajiban gadi dokter.
“Apakah dokter dapat melaukan penanganan gawat darurat tanpa izin pasien atau keluarga di rumah sakit?” katanya.
Untuk menjawabnya, Errawan membedahnya menggunakan teori negara hukum, kontrak sosial, dan pertanggungjawaban hukum. Hasilnya, dokter dapat melakukan penanganan gawat darurat tanpa izin pasien atau keluarga di rumah sakit (RS).
“Kesimpulan dari penelitian ini adalah dokter dapat melakukan penanganan gawat darurat tanpa izin pasien atau keluarga di rumah sakit disebakan dua hal,” ujarnya.
Partama, dianggap diberikan persetujuan (imflied concent) sehingga kedudukan dokter dengan pasien tidak sederajat. Menurutnya, hal tersebut karena dalam keadaan gawat darurat.
Kedua, tanggung jawab dokter dalam penanganan gawat darurat tanpa izin pasien atau keluarga di RS adalah masalah etik yang diselesaikan oleh Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI)
Menurutnya, hal tersebut dikarenakan adanya alasan pembenar, seperti tindakan medis dari dokter telah didasarkan pada standar profesi, adanya risiko medis yang tinggi pada pasien jika dilakukan suatu tindakan medis, dan rumah sakit tidak bisa lepas dari tanggung jawab yang dilakukan dokter.
“Selain daripada itu, adanya defensive medicine berupa tindakan pengamanan bagi dokter dalam melakukan diagnosa dan tindakan-tindakan kepada pasien sehingga tidak akan terjadi tuntutan di kemudian hari,” katanya.
Kemudian, mengutamanan denda daripada penjara karena dokter telah melakukan tugasnya sesuai SOP akan tetapi hasilnya tidak sesuai harapan dokter dan pasien. Hal tersebut merupakan suatu risiko dan bukan tindak pidana.
Penguji luar instansi Prof. Dr. Zainal Arifin Hosein, S.H., M.H., sempat menanyakan apakah hospital by law ini menguntungkan pihak tertentu? Errawan mengatakan, itu merupakan aturan baku untuk melindungi pasien dan dokter.
Meskipun baku, lanjut dia, namun penerapannya disesuaikan kondisi dan situasi, yakni karena situasi gawat darurat, pasien tidak sadarkan diri dan perlu pertolongan cepat karena berpotensi menyebabkan kematin, serta tidak ada pihak keluarga di RS untuk meminta izin.
“Lindungi pasien, yakni tindakan harus sesuai prosedur. Lindungi dokter bila sudah melakukan sesuai SOP maka seyogianya dokter tersebut dilindungi secara hukum sesuai UU Praktik Kedokteran,” katanya.
Sedangkan Ketua Panitia Ujian Doktor, Prof. Ir. Bambang Bernanthos, M.Sc, menyoal apakah perlu melakukan terapeutik dalam kondisi gawat daruat. Errawan menjawab, sesuai UU Prakitk Kedokteran Nomor 29 Tahun 2004 itu wajib dilakukan sebagaimana ketentuan Pasal 45 Ayat (3).
“Dokter harus memberikan penerangan informasi yang jelas mengenai diagnosa dan tindakannya, apa alternatifnya, apa kemungkinan efek samping, dan prognosisnya. Itu wajib diberikan kepada pasien atau keluarga. Namun karena kondisi gawat darurat, kita bisa melakukan tanpa izin pasien atau keluarga,” katanya.
Setelah para penguji menyampaikan pertanyaan, Errawan dinyatakan lulus ujian program doktor hukum Universitas Borobudur dengan predikat cum laude dengan IPK 3,88.
“Menganugerahkan gelar doktor dalam bidang hukum kepada yang bersangkutan dan yang bersangkutan berhak menggunakan gelar doktor sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku,” kata Bambang.