Jakarta, Gatra.com – Dokter Spesialis Orthopedi dan Traumalogi, dr. Andjar Bhawono, mengatakan, pemerintah harus mereformulasi Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) Nomor 32 Tahun 2018 tentang Penyelenggaraan Pelayanan Sel Punca dan atau Sel.
“Perlu reformulasi Permenkes ini,” kata Andjar dalam sidang terbuka disertasi doktoralnya berjudul “Legalitas Kewenangan Penanganan Pasien Dengan Menggunakan Teknologi Stem Cell Bagi Klinik” di Universitas Borobudur, Jakarta, Sabtu (3/12).
Dokter yang berpraktik di Rumah Sakit (RS) Prikasih, Metropolitan Medical, dan Puri Cinere ini, menjelaskan, Permenkes ini perlu direformulasi karena menyebabkan diskriminatif antara rumah sakit (RS) dan klinik.
Baca Juga: Terapi Stem Cell Covid-19 di RS Sardjito Disetujui BPOM
Permenkes tersebut mengatur kewenangan instansi penyelenggaran sel punca, yakni RS dan klinik utama. Perbedaannya, klinik utama hanya boleh melakukan pelayanan terapi terstandar. Sedangkan RS berwenang memanfaatkan penggunaan sel punca dalam pelayanan terapi terstandar dan penelitian berbasis pelayanan terapi.
Menurut Andjar, reforlumasi dengan mengubah klausul dalam permenkes tersebut merupakan solusi untuk menghilangkan diskriminasi terkait kewenangan antara RS dan klinik utama.
“Apabila klinik yang sudah memenuhi semua izin dalam pemanfaatan sel punca, seyog ianya tidak ada diskriminasi antara rumah sakit dan klinik,” ucapnya.
Prof. Dr. Zainal Arifin Hosein, S.H., M.H., penguji dari luar institusi, menanyakan, apakah perbedan kewenangan tersebut wajar atau sebaliknya mengingat menyangkut keselamatan pasien Andjar mengatakan, dapat merasakan perbedaan tersebut karena praktik di RS besar dan klinik.
“Untuk tenaga ahlinya yang punya STR-nya, skil atau person-nya sama dalam arti baik di RS A atau klinik personnya sama. Masalahnya diizin,” katanya.
Diskriminasi tersebut juga membuat pasien mengalami hal serupa dan tidak mendapatkan haknya sebagaimana diatur Pasal 28H Ayat (1) UUD 1945, khususnya soal mendapatkan layanan kesehatan.
“Permasalahannya timbul ketika pasin yang datang ke RS dan ke klinik polanya sangat berbeda sekali. Karena ini masih teknologi yang baru, dari sisi cost masih besar sekali. Ini yang dipikirkan oleh Kemnkes sehingga membuat permenkes seperti itu,” katanya.
Pasien atau masyarakat yang telah mempunyai literasi atau awarness soal sel punca dan teknologinya, lebih nyaman datang ke kelinik. Namun, karena terhambat aturan itu, mereka akhirnya memilih melakukannya di luar negeri, seperti Singapura, Jerman, Inggris, dan negara lainnya. Padahal, di sana juga ini merupakan hal baru.
Lulusan Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta ini, mengungkapkan, sempat menempuh pendidikan di Jerman untuk mempelajari sel punca. Ada beberapa pasien dari Indonesia untuk mendapatkan layanan stem cell di sana.
Untuk mendapatkan layanan di sana, biayanya terbilang mahal, yakni bisa mencapai sekitar lebih dari Rp1 miliar. Padahal, teknologi yang saat dipakai di Jerman, itu sudah ada di Indonesia.
Hanya saja, izinnya belum ada untuk klinik sebagaimana Permenkes Nomor 32 Tahun 2018. “Sedangkan kalau itu bahasannya Rp1 miliar berangkat ke sana [Jerman/luar negeri], pasien-pasien kita di sini yang tidak punya segitu bagaimana nasibnya,” kata dia.
Dengan adanya kesetaraan kewenangan antara RS dan klinik utama soal sel punca, maka orang Indonesia tidak perlu lagi harus pergi ke luar negeri dan bisa melakukannya di Indonesia. Efek dominonya, ini akan memajukan dokter di Tanah Air.
“Akhirnya memajukan keilmuan dokter-dokter kita di Indonesia, dari kita, oleh kita untuk kita karena teknologi ini bukan sesuatu yang harus kita ambil dari sana, cuman prosesnya saja, pengetahuan awalnya saja,” kata dia.
Terlebih, saat ini sudah terdapat 2 sampai 3 laboratorium yang ditunjuk oleh pemrintah untuk menyediakan stem cell ini. “Tetapi tetap yang kita bingungkan adalah kenapa ini masih menjadi barier antara RS yang ditunjuk pemerintah atau tidak,” katanya.
Rektor Universitas Borobudur Prof. Ir. H. Bambang Bernanthos yang turut menguji, menanyakan soal stem cell atau sel punca dan bagaimana efek sampingnya terhadap pasien. Andjar menjelaskan, sel punca adalah sel yang menumbuhkan.
Ia mencontohkan, kuku atau rambut setelah dipotong kembali tumbuh. Hanya saja, di usia tertentu perkembangannya tidak seperti saat bayi. Teknologi sel punca juga berkembang pesat, sehingga DNA-nya tidak diambil, tetapi hanya penumbuhnya, sehingga penerapannya bisa dipakai kesemua orang.
“Sampai saat ini, belum ada jurnal yang di-stem cell menjadi kanker atau tumor. Tapi kalau memang kekhawatiran itu ada, tapi belum bisa dibuktikan. [Stem cell] besar manfaatnya daripada bahayanya,” kata dia.
Dalam disertasi ini, Andjar juga menyarankan Kementerian Kesehatan (Kemkes) untuk gencar menyosialiasikan penggunaan sel punca kepada masyarakat terkait dalam perkembangan pengobatan medis di Indonesia.
Sedangkan untuk RS dan Klinik yang berwenang dalam penggunaan sel punca, Andjar menyarankan untuk bekerja sama dalam mengembangkan teknologi stem cell agar meningkatkan pengetahuan dan kompetensi dokter spesialis Indonesia.
Baca Juga: Menristek Resmikan Pusat Produksi Sel Punca Nasional
“[Ini] dalam rangka mewujudkan pelayanan kesehatan yang baik terhadap masyarakat Indonesia,” ucapnya.
Setelah dapat mempertahankan disertasinya, para penguji, yakni dua penguji di atas dan penguji lainnya adalah Direktur Program Pascasarjana Universitas Borobudur, Prof D. Fasial Santiago, S.H., MM., dan Prof Dr. Abdullah Sulaiman, S.H., M.H., penguji dari dalam Institusi serta komisi pembinging Prof Dr. Ade Saptomo, S.H., M.Si dan Dr. Megawati Barthos menyatakan Andjar lulus ujian doktor hukum Universitas Borobudur dengan predikat cum laude dengan IPK 3,85.
“Menganugerahkan gelar doktor dalam bidang hukum kepada yang bersangkutan dan yang bersangkutan berhak menggunakan gelar doktor sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku,” kata Bambang Bernanthos.