Oleh : Dr. Ari Yusuf Amir, SH, MH *)
Kasus kejahatan industri farmasi di Indonesia, kembali merenggut banyak korban jiwa. Kali ini, beberapa produk obat sirup ditengarai menyebabkan gagal ginjal akut pada anak-anak(acute kidney injury/AKI). Hingga 18 November 2022, tercatat 324 anak mengalami gagal ginjal akut, bahkan 199 anak diantaranya meninggal dunia. Tingginya jumlah kasus kematian anak akibat gagal ginjal akut tersebut sangat mengkhawatirkan. Bahkan jumlahnya jauh melebihi kasus serupa di Gambia, negara terbelakang di Benua Afrika.
Kasus gagal ginjal akut pada anak diketahui penyebabnya adalah senyawa toksin yang berasal dari kandungan dalam obat sirup yang dikonsumsi anak yaitu: Etilen Glikol dan Dietilen Glikol. Dua senyawa itu merupakan bahan kimia yang dapat digunakan sebagai pelarut dalam obat sediaan cair. Keduanya merupakan senyawa beracun yang apabila digunakan dalam jumlah besar melebihi 0,1%, efek samping dari over dosis kedua zat tersebut adalah gagal ginjal akut.
Industri Farmasi dan Kejahatan Kemanusiaan
Masyarakat sejatinya menaruh kepercayaan mutlak pada industri farmasi. Sebab sebagai awam, masyarakat tidak memahami bahan baku obat, komposisi dan proses pembuatannya. Masyarakat hanya berpikir sembuh dan sehat. Masyarakat mempercayai industri farmasi telah meneliti dan mengembangkan, serta memproduksi obat untuk meningkatkan kesehatan. Demi menjaga kesehatan setiap orang cenderung berobat ke dokter dan akan memenuhi saran dan nasehat dokter, termasuk mematuhi untuk membeli obat yang diresepkan.
Namun kepercayaan masyarakat terhadap industri farmasi itu acapkali dirusak oleh perilaku buruk sebagian perusahaan yang terobsesi hanya mengeruk keuntungan semata.Perilaku nir etik tersebut semakin subur ditengah dominasi paham neoliberalisme yang mengondisikan korporasi memiliki peran yang sangat besar dalam mempengaruhi kehidupan manusia, terutama dalam aspek kesehatan. Asumsi dasar dari neoliberal adalah meletakkan pasar sebagai pelaku utama ekonomi; liberalisasi pasar dalam model kebebasan pergerakan barang, jasa, investasi dan modal tanpa diperlukan intervensi negara.
Liberalisasi pasar dan minimnya peran negara, dapat dimanfaatkan oleh para pemegang saham atau investor untuk menekan korporasi, demi memperoleh keuntungan sebesar-besarnya, yang pada akhirnya nilai dan etika disingkirkan. Dalam konteks industri farmasi, ambisi memperoleh keuntungan sebesar-besarnya dari pemegang saham maupun investor, dapat berakibat pada rusaknya sistem kesehatan, bahkan hingga jatuhnya korban jiwa. Kejahatan korporasi itu termasuk dalam kejahatan kerah putih (white collar crime).
Melihat kecenderungan perilaku korporasi yang mengeruk keuntungan setinggi-tingginya itu, para ahli pidana sudah sejak lama meletakkan industri farmasi sebagai pelaku kejahatan kemanusiaan (Braithwaite, 1984/2014). Menurut Braithwaite kejahatan korporasi dalam industri farmasi, terjadi dalam aspek yang luas, yang mengakibatkan kerugian besar pada konsumen. Perusahaan farmasi kerap terlibat dalam tindakan ilegal, tidak etis dan berbahaya seperti penyuapan, menggunakan proses produksi yang berbahaya, kelalaian dan penipuan dalam pengujian keamanan obat.
Pelanggaran yang dilakukan oleh perusahaan farmasi termasuk dalam beberapa kategori, diantaranya manipulasi desain dan temuan uji klinis, serta kesalahan penyajian temuan tersebut dalam jurnal medis dan ilmiah; pemasaran dan promosi produk farmasi yang curang dan ilegal; kelebihan produksi obat-obatan berbahaya,seperti kegagalan produsen untuk mengawasi dan memantau para pengedar obat-obatan tersebut; dan upaya untuk melemahkan kekuatan badan pengawas obat (Sillup and Porth 2008).
Dalam proses produksi, kecurangan bisa terjadi pada saat pemilihan bahan baku, komposisi obat. Dalam proses pemasaran obat, kecurangan bisa terjadi akibat kolusi antara perusahaan farmasi dengan dokter atau rumah sakit dan apotik, serta iklan yang tidak sesuai.
Merespon hal tersebut, sejumlah negara telah memberi perhatian dengan memberi sanksi tegas bagi kejahatan pidana yang dilakukan industri farmasi. Di Amerika misalnya, selama rentang 1991 hingga 2022 terdapat 20 kasus besar terkait pidana korporasi yang melibatkan industri farmasi. Diantaranya tiga kasus dengan pidana tertinggi, adalah Glaxo Smith Kline, kasus Pfizer, Johnson & Johnson, Laboratorium Abbott yang sudah diberikan sanksi tegas. Tindak pidana yang dilakukan meliputi promosi di luar label, kegagalan untuk mengungkapkan data keamanan, membayar suap kepada dokter, membuat pernyataan palsu dan menyesatkan konsumen mengenai keamanan produk.
Begitu juga di Jepang, perusahaan farmasi Takeda Pharmaeceutical, di tahun 2015 menghadapi ratusan gugatan terhadap produk obat diabetes actors. Obat itu ditengarai meningkatkan resiko kanker. Perusahaan ini dikenai denda US$ 2,4 Miliar.
Jerat Pidana Kejahatan Korporasi
Merespon maraknya balita tumbang akibat penggunaan obat sirup beracun itu, Kementerian Kesehatan (Kemenkes) kemudian menerbitkan surat edaran untuk menghentikan penggunaan obat sirup. Surat edaran itu ditindaklanjuti oleh Bareskrim Polri dan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) dengan melakukan penyelidikan.
Dari penyelidikan yang dilakukan Bareskrim Polri dan BPOM ditemukan dalam produk obat sirup AF, YF, UPI terdapat kandungan Etilen Glikol dan Dietilen Glikol dengan jumlah melebihi ambang batas yang diperbolehkan BPOM. Dengan temuan itu maka Bareskrim Polrimenetapkanempat korporasi sebagai tersangka, yaitu PT AF, PT YF, PT UPI, dan CV SC.
CV SC sebagai pemasok bahan sediaan obat farmasi dianggap telah lalai melakukan pemeriksaan atas barang sediaan.
Bahan Propilen Glikol yang dipasok ke beberapa pabrik farmasi diduga telah tercemar Etilena Glikol dan Dietilena Glikol sebesar 52 - 90 %. Seharusnya sebagai pemasok barang sediaan farmasi, sebelum mengirimkan ke pabrik farmasi melakukan pemeriksaan atas kualitas bahan obat farmasi tersebut.
Atas perbuatannya itu, CV SC dapat diduga melanggar Pasal 98 Undang-undang Kesehatan (UU Kesehatan), yang menyatakan, “(1) Sediaan farmasi dan alat kesehatan harus aman, berkhasiat/bermanfaat, bermutu, dan terjangkau. Dan, (3) Ketentuan mengenai pengadaan, penyimpanan, pengolahan, promosi, pengedaran sediaan farmasi dan alat kesehatan harus memenuhi standar mutu pelayanan farmasi yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
CV SC juga melanggar ketentuan Pasal 8 Ayat (3) Undang-undang Perlindungan Konsumen , tahun 1999 (UU Perlindungan Konsumen), yang menyatakan, “Pelaku usaha dilarang memperdagangkan sediaan farmasi dan pangan yang rusak, cacat atau bekas dan tercemar, dengan atau tanpa memberikan informasi secara lengkap dan benar”.
Sedangkan industri farmasi yang memproduksi sirup yang menyebabkan kasus gagal ginjal akut pada anak dapat dikenakan Pasal 196 UU Kesehatan yang menyatakan, “Setiap orang yang dengan sengaja memproduksi atau mengedarkan sediaan farmasi dan/atau alat kesehatan yang tidak memenuhi standar dan/atau persyaratan keamanan, khasiat atau kemanfaatan, dan mutu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 98 ayat (2) dan ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah)”.
Terhadap pelanggaran pidana yang dilakukan oleh korporasi, maka korporasi selain pidana penjara dan denda terhadap pengurusnya, pidana yang dapat dijatuhkan terhadap korporasi berupa pidana denda dengan pemberatan 3 (tiga) kali dari pidana denda.
Pertanggungjawaban Pidana Pemegang Saham
Ancaman pidana denda pada korporasi yang tertuang dalam Undang-undang Omnibus Law, pada prinsipnya telah mengadopsi Perma No. 13 Tahun 2016, yang membuka peluang bagi korporasi untuk dijatuhi pidana. Sebelum dikeluarkannya Perma No. 13 Tahun 2016, pertanggungjawaban pidana korporasi hanya dibebankan kepada pengurus.
Keberadaan Perma tersebut merupakan kemajuan besar karena korporasi dapat dimintai pertanggungjawaban pidana. Hanya saja persoalannya tidak berhenti sampai disitu, pertanggungjawaban pidana korporasi yang dibebankan pada pengurus dan korporasi masih memberi celah berulangnya kejahatan sejenis. Doktrin corporate veilyang dianut dalam Undang-undang perseroan terbatas, telah memberi tabir perlindungan pada pemegang saham, dianggap menjadi pemicu pengulangan tindak pidana yang dilakukan oleh korporasi.
Karena hakekatnya korporasi hanyalah alat yang menjalankan “perintah” pemegang saham. Oleh sebab itu pemegang saham layak untuk dibebani kewajiban bertindak dan bertanggung jawab secara etisdan yuridis. Para pemegang saham dapat menggunakan modal yang dimiliki untuk memengaruhi anggota direksi dan dewan komisaris dalam mengambil kebijakan yang menguntungkan pemegang saham.
Dalam kasus obat sirup yang menyebabkan kematian pada ratusan anak, para penegak hukum perlu melihat kasus tersebut dalam dimensi kemanusiaan, bukan hanya dimensi tindak pidana yang dilakukan oleh korporasi. Bila fokus para penegak hukum hanya pidana korporasi, maka sesuai dengan Undang-undang Perseroan Terbatas dan Perma 13 tahun 2016, hanya pengurus dan korporasi yang dimintai pertanggungjawaban pidana.
Namun bila penegak hukum melihat kasus ini dalam perspektif kejahatan terhadap kemanusiaan (crime againts humanity), maka penegak hukum dapat menggunakan doktrin piercing the corporate veil dan doktrin alter ego untuk menelisik lebih jauh peran pemegang saham, dan membuka kemungkinan untuk meminta pertanggungjawaban pidana bagi pemegang saham.
Doktrin piercing the corporate veil secara prinsip berpandangan bahwa pemegang saham dapat dikenakan tanggung jawab tidak terbatas, jika diketahui tidak ada pemisahan kekayaan antara pemegang saham dan perusahaan (menjadi alter ego). Apabila tindak pidana yang dilakukan oleh korporasi terbukti merupakan perintah pemegang saham, dengan kata lain pemegang saham telah melampaui kewenangannya (ultra vires) dan menggunakan korporasi sebagai vehicle bagi kepentingan pemegang saham, maka pemegang saham dapat dimintai pertanggungjawaban pidana.
Mengingat bahwa pidana yang dilakukan oleh korporasi di bidang industri farmasi telah beberapa kali terjadi di Indonesia, dan mengingat tujuan pidana adalah memberi efek jera, maka bagi para pemegang saham yang melampaui kewenangannya atau yang menggunakan korporasi untuk melakukan tindak pidana, maka para pemegang saham seperti itu dapat dimintai pertangggungjawaban pidana. Kepada pemegang saham yang menjadi alter ego dan bertindak melampaui kewenangannya dapat dikenai pidana tambahan berupa larangan menjadi pemegang saham korporasi.
Kepada korporasi yang terbukti melakukan tindak pidana berupa kejahatan terhadap kemanusiaan tersebut, dapat diberi sanksi pidana dengan kewajiban menyerahkan keuntungan yang diperoleh selama masa korporasi tersebut melakukan tindak pidana, memperbaiki segala kerusakan yang ditimbulkan akibat perbuatan pidana yang dilakukan oleh korporasi, termasuk menyantuni korban dan keluarga korban, serta menyita seluruh aset korporasi untuk negara.
Pendekatan hukum progressif seperti ini bernilai penting dalam mengawal sistem keamanan kesehatan di negeri ini, yang seringkali kecolongan oleh prilaku jahat sebagian korporasi di industri farmasi.
*) Doktor Ilmu Hukum, Pakar Hukum Pidana Korporasi & Pendiri LBH Yusuf