Home Ekonomi Kemnaker Apresiasi Perusahaan yang Penuhi Hak Karyawan Terkena PHK

Kemnaker Apresiasi Perusahaan yang Penuhi Hak Karyawan Terkena PHK

Jakarta, Gatra.com - Tantangan ketenagakerjaan saat ini kian berat. Terlebih, ekonomi global tengah mengalami tekanan akibat perang Rusia-Ukraina dan juga imbas pandemi Covid-19. Tak heran, banyak perusahaan terdampak, hingga terpaksa mengurangi banyak karyawan. Seperti yang dilakukan Twitter, Facebook, Goto, Grab, Ruangguru hingga Indosat.

Beberapa perusahaan mapan, tentu mampu memenuhi kewajiban kompensasi sesuai Undang-Undang sebagai upaya penyelesaian yang bisa diterima oleh karyawan terdampak.

Sementara di tengah tantangan dunia kerja dan perekonomian, saat ini muncul mindset "tetap kerja" tanpa harus fokus menjadi karyawan tetap/kontrak di satu badan usaha tertentu. Apalagi, sekarang ini para karyawan generasi kekinian memiliki prinsip bekerja di mana saja selama terus produktif.

Direktur Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial Tenaga Kerja (PHI-Jamsos) Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker), Indah Anggoro Putri, menyampaikan, untuk memenuhi kebutuhan hidupnya orang harus bekerja. Saat bekerja orang akan mendapatkan uang atau penghasilan atau gaji yang kemudian digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.

Bisa dikatakan paradigma “kerja tetap” menjadi suatu hal wajib dan jamak dilakukan setiap orang yang memilki tanggungan hidup baik langsung maupun tidak langusng. Tak terkecuali kelompok angkatan kerja pekerjaan sektor padat karya, atau kaum buruh yang rata-rata menggantungkan pekerjaan pada satu keahlian tertentu.

Meskipun dewasa ini, sektor padat karya sangat rentan terhadap disrupsi khususnya terkait teknologi yang mampu menyederhanakan berbagai proses produksi.

Sedangkatn tuntutan bisnis yang kian berubah, ketangkasan sebuah perusahaan diperlukan untuk terus bisa memenuhi kebutuhan pelanggan, kaum buruh yang notabene adalah bagian pendukung operasional perusahaan juga dituntut untuk mau tidak mau harus bisa terus mengasah kemampuan atau skillnya supaya juga bisa terus ikut arus adaptasi perusahaan, karena jika tidak, akan sangat rentan untuk bisa terus “dipinang” oleh perusahaan.

Beberapa tahun lalu, kata Indah, pemahaman orang terkait makna bekerja adalah bagaimana cara untuk mendapatkan pekerjaan pada perusahaan atau pabrik. Para lulusan baru pun akan mencari pekerjaan pada perusahaan yang terbaik, atau terkemuka di wilayahnya dengan berbagai paket manfaat yang menjanjikan.

"Seiring dengan waktu karena susahnya mencari pekerjaan maka orang dituntut untuk berinovasi menciptakan lapangan pekerjaan yang baru. Tanpa harus fokus menjadi karyawan di suatu badan usaha tertentu," ucap Indah dalam rilis, Kamis (1/12).

Dijelaskan Indah, pada saat ini telah terjadi pergeseran di mana sebagian besar generasi milenial menginginkan fleksibilitas dalam hal waktu atau tempat kerja. Bagi milenial, fleksibilitas dapat membantu mereka lebih produktif dengan mengatur sendiri tempat dan waktu kerja yang paling nyaman sesuai dengan kebiasaan mereka.

Namun sayangnya, untuk sektor padat karya belum sepenuhnya mampu menanggulangi kecepatan perubahan pasar, baik secara teknologi maupun rantai pasok global yang mempengaruhi permintaan pasar yang berdampak langsung pada kebutuhan tenaga kerja sektor padat karya. Faktor daya saing menjadi faktor penting keberlangsungan sektor padat karya di masa depan.

Tidak dipungkiri menurut Indah, Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) merupakan langkah terakhir yang dapat ditempuh setelah melalui berbagai upaya efisiensi pada berbagai lini perusahaan. Apabila PHK tidak bisa dihindari lagi maka pengusaha wajib membayar uang pesangon dan/atau uang penghargaan masa kerja, dan uang penggantian hak sesuai dengan ketentuan dalam Perjanjian Kerja, Peraturan Perusahaan, Perjanjian Kerja Bersama atau PP 35 Tahun 2021 tentang Perjanjian Kerja Waktu Tertentu, Alih Daya, Waktu Kerja dan Waktu Istirahat, dan Pemutusan Hubungan Kerja.

Ia mengapresiasi upaya sejumlah perusahaan yang walaupun terpaksa melakukan PHK kepada karyawannya tapi tetap memberikan apresiasi layak sesuai haknya, bahkan lebih dari apa yang diharuskan.

Pemerintah juga telah memberikan perlindungan pada pekerja/buruh yang terkena PHK dalam program Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP). Program JKP sebagaimana amanat PP 37/2021 telah berjalan hampir 2 tahun.

Sampai dengan tanggal 28 November 2022, data JKP mencatat, terdapat Peserta Aktif 12.676.877 orang, kemudian total yang telah menerima manfaat dengan rincian sebagai berikut; Telah menerima manfaat uang tunai sebanyak 8.458, telah mengikuti asesmen sebanyak 7.895, Telah mengikuti konseling sebanyak 2.526 orang, Mengikuti pelatihan Kerja sebanyak 101 orang, dan Peserta yang telah bekerja kembali sebanyak 164.

Karena itu, untuk menjaga iklim dunia kerja tetap kondusif, Kemnaker terus berkoordinasi dengan perusahaan, untuk update perkembangan bisnisnya. Hal ini, sejalan dengan aturan, dimana didalam UU No.13 tahun 2003 pasal 106 berbunyi pengusaha yang mempekerjakan 50 (lima puluh) orang pekerja/buruh atau lebih wajib membentuk lembaga kerja sama bipartit.

Pandangan Indah, juga sejalan dengan pernyataan Lucia Nany Lusida selaku Human Capital Expert/ International Certified Organization Transformation, yang menilai bahwa seluruh sektor di tanah air terus berusaha mengintegrasikan berbagai sumberdaya baik modal, lahan, teknologi, serta kekayaan intelektual sebagai sumber penciptaan nilai yang pada akhirnya mampu menyerap setidaknya 1,7 juta lulusan sarjana baru setiap tahunnya.

Di sisi lain, setiap tahun selalu ada selisih yang tidak sedikit, dimana ketersediaan lapangan kerja tidak serta merta sejalan dengan kebutuhan angkatan kerja setiap tahunnya. Untuk itu, menurut Lucia, kita perlu merubah paradigma menjadi “tetap kerja" ketimbang sekadar “kerja tetap".

Lantas bagaimana yang terdampak dari perubahan, seperti terkena PHK? Menurut Lucia, dalam pengalaman di dunia usaha selama lebih dari 25 tahun, tidak pernah ada perusahaan yang secara sengaja ingin memecat karyawan karena pada dasarnya perusahaan sangat membutuhkan sumber daya manusia yang telah terampil, dan familiar dalam memahami seluk-beluk tantangan operasional setiap perusahaan.

Kata Lucia, setiap perusahaan tidak akan mengorbankan learning curve serta operational stability yang telah tercipta di rantai pasok, karena itu ia mengajak karyawan yang terdampak, tidak putus asa serta tidak cepat termakan solidaritas yang semu antar sesama karyawan.

"Proses ini pasti berat, tapi dengan berbagai sumber daya yang tersedia saat ini, kita harus mampu beradaptasi secara cerdas atas segala kemungkinan yang bisa saja terjadi bukan hanya pada angkatan kerja baru, namun juga bagi para pekerja yang mungkin telah mengabdikan waktu dan dedikasinya dalam waktu yang lama," kata Lucia.

Badai pemutusan hubungan kerja sudah di depan mata, meski berat, kata Lucia, hal ini keniscayaan ketika ada disrupsi yang masif terjadi apalagi dengan adanya enabler yang mempercepat adanya perubahan tersebut seperti pandemi serta akselerasi kecerdasan buatan (AI).

Dengan teknologi yang mumpuni, sistem operasi banyak yang mampu dikerjakan secara otomatis dan melibatkan sedikit sumber daya manusia. Pekerjaan-pekerjaan juga sekarang dimungkinan dilakukan dari jarak jauh, sehingga banyak ruang efisiensi dan produktivitas dicapai dengan lebih baik.

Menurut dia, penting untuk para angkatan kerja juga melihat secara lebih utuh dan bijaksana, ketika mengalami PHK, maka pikirkan langkah-langkah masa depan sambil memahami betul hak dan kewajiban yang patut anda terima saat perusahaan memutuskan melakukan penyesuaian ketenagakerjaan.

Bagi perusahaan di Indonesia yang memiliki fundamental dan kepatuhan regulasi yang baik seperti seperti GoTo, Shopee, Unilever Indonesia, LinkAja, dan Indosat; tentu telah berusaha maksimal memenuhi kewajiban sesuai regulasi yang ditetapkan dan didukung oleh ragam program penunjang seperti program pelatihan, jaminan kesehatan waktu tertentu, serta proses matchmaking di unit-unit usaha lain.

"Masyarakat perlu menyadari bahwa, dengan dipenuhinya segala kewajiban sesuai ketentuan perundang-undangan maka sudah tidak ada lagi alasan publik menyerang atau mempertanyakan kredibilitas pelaku usaha secara sepihak apalagi memaksakan kehendak, yang dalam jangka panjang merusak iklim investasi dalam negeri," ujarnya.

Menurut Lucia, beberapa perusahaan seperti Unilever Indonesia dan Sampoerna menyertakan manfaat pelatihan keterampilan/skill kewirausahaan untuk mendukung keberlanjutan hidup pasca kehilangan pekerjaan.

Hal ini bukan kewajiban, namun salah satu upaya ekstra dari perusahaan-perusahaan untuk memberikan dukungan semaksimal mungkin bagi karyawan yang terdampak. Belum lagi, banyak gerakan solidaritas di akun-akun media sosial yang menampung para karyawan terdampak untuk dapat direkrut kembali oleh pelaku usaha lainnya.

"Penting untuk rekan-rekan karyawan menggunakan mekanisme bipartit dan tripartit secara bijaksana dan memastikan adanya moderasi yang sehat selama proses transisi itu berlangsung. Mari menakar produktivitas dari kerja tetap, menjadi tetap kerja," ucap Lucia.

663