Jakarta, Gatra.com - Tim kuasa hukum yang tergabung dalam Tim Advokasi untuk Kemanusiaan (TANDUK) mendesak pemerintah tetapkan kasus gagal ginjal akut pada anak sebagai kasus luar biasa (KLB).
"Kami bersikeras ini KLB, meskipun statistiknya 0. Kami akan mendesak supaya KLB karena kemarin kita tahu, polio muncul 1 kasus langsung KLB," ucap Awan Puryadi dari Tim Advokasi TANDUK dalam media briefing Update Kasus Gagal Ginjal Akut pada Anak di Jakarta, Rabu (30/11).
KLB berarti salah satu status yang diterapkan di Indonesia untuk mengklasifikasikan timbulnya atau meningkatnya kejadian kesakitan dan atau kematian yang bermakna secara epidemiologi pada suatu daerah dalam kurun waktu tertentu, dan merupakan keadaan yang dapat menjurus pada terjadinya wabah.
Ketentuan tersebut diatur oleh Peraturan Menteri Kesehatan. Beberapa syaratnya meliputi timbulnya suatu penyakit menular tertentu yang sebelumnya tidak ada atau tidak dikenal pada suatu daerah, peningkatan kejadian kesakitan terus menerus selama tiga kurun waktu (jam, hari, atau minggu) berturut-turut, serta jumlah penderita baru dalam satu bulan meningkat dua kali atau lebih dibandingkan tahun sebelumnya.
Awan menuturkan bahwa status KLB diperlukan. Ini berkaitan dengan jumlah korban meningkat dalam kurun waktu dua bulan sepanjang September dan Oktober lalu, yang mengakibatkan 178 anak meninggal dunia.
"KLB dalam artian semua data dibuka, semua perawatan, semua sampai kasus selesai ditanggung pemerintah," ucapnya.
Kuasa hukum lainnya, Tegar Putuhena, menyebutkan bahwa penetapan status KLB penting dilakukan. Hal ini bisa merumuskan adanya kebijakan perawatan berkelanjutan bagi korban sehingga penanganan bisa dilakukan secara serius.
"Dari semua kondisi, kurang luar biasa apa ini untuk ditetapkan sebagai kondisi luar biasa? Ada barang beracun yang masuk dalam obat sirop anak. Kami berharap BPOM mendengar ini, Kemenkes menetapkan kebijakan untuk memastikan ada perawatan intensif untuk korban," jelasnya.
Tegar menyebut bahwa sekarang adalah saat yang tepat untuk ditetapkan sebagai KLB. Menurutnya, setelah tiga bulan berjalan, ada indikasi pengabaian korban dari pihak yang seharusnya bertanggung jawab.
Kebutuhan korban masih banyak, sehingga diperlukan penetapan kebijakan status KLB agar pelayanan kesehatan untuk korban maupun penyakit setelahnya difasilitasi oleh negara.