Jakarta, Gatra.com - Peneliti Imparsial sekaligus Ketua Badan Pengurus Centra Initiative, Al Araf memberikan tanggapan atas kasus gagal ginjal akut pada anak. Menurutnya, kasus ini merupakan tragedi kekuasaan sehingga pemerintah harus bertanggungnawab.
"Ini tragedi kekuasaan. Pemerintah harus memiliki tanggung jawab mutlak untuk memenuhi hak kesehatan masyarakatnya. Ada korban meninggal dan ada yang dirawat akibat minum obat beracun," katanya dalam media briefing Update Kasus Gagal Ginjal Akut pada Anak yang diselenggarakan Tim Advokasi untuk Kemanusiaan (TANDUK) di Jakarta, Rabu (30/11).
Al Araf menyebut bahwa dalam kerangka ini, negara memiliki state responsibility untuk memenuhi hak kesehatan sebab telah diatur dalam konstitusi. Penyelesaian kasus masih harus dilakukan. Banyak korban yang masih dirawat di rumah sakit maupun melakukan rawat jalan akibat kerusakan organ sebagai dampak dari tidak berfungsinya ginjal.
Al Araf juga menilai anggapan bahwa anggapan kasus sudah selesai dari pihak pemerintah seperti Kementerian Kesehatan (Kemenkes) dan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) merupakan sikap yang melukai korban. Korban yang tidak bisa sembuh seperti sedia kala dan harus menjalani berbagai perawatan menjadi tanda masih berlangsungnya kasus.
"Saya melihat pemerintah lari dari ini. Pemerintah atau BPOM menganggap kasus ini sudah selesai, itu melukai korban. Setiap hari korban masih bolak balik rumah sakit untuk cek dan merawat anaknya, itu nggak bisa dipandang sebagai sebuah kasus selesai," paparnya.
Menurut Al Araf, penting bagi negara untuk memastikan hak atas kesehatan masyarakat bisa terpenuhi. Hal itu merupakan state responsibility yang harus dipenuhi.
Ia menyebutkan bahwa Kemenkes dan BPOM seharusnya turun langsung melihat korban. Upaya ini diperlukan agar pihak terkait bisa menemukan realitas yang sesungguhnya terjadi.
"Seharusnya Kemenkes dan BPOM turun ke Rumah Sakit Umum Pusat Nasional dr. Cipto Mangunkusumo (RSCM) untuk melihat realitas langsung dan berkomitmen dalam rangka melakukan perawatan intensif untuk korban. Ini harus dilakukan secara kontinu oleh negara," jelasnya.
Menurutnya, negara tidak boleh menutupi persoalan ini. Semua harus dibuka secara terang benderang, terutama siapa yang bertanggungjawab. Seluruh pihak harus dicek satu persatu sehingga komitmen pemerintah harus tegas, bahkan hingga jangka panjang terutama dalam memberikan perawatan bagi korban.
Ia menuntut Presiden Joko Widodo dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk melihat korban yang jumlahnya tidak sedikit.
"Wakil rakyat bekerja untuk menyampaikan aspirasi rakyat. Komisi kesehatan tidak boleh diam, harus proaktif untuk memastikan hak kesehatan masyrakat terjamin. Aneh sekali kalau wakil rakyat tidak turun untuk mendesak pemerintah bertanggungjawab," lanjutnya.
Al Araf menyebut bahwa audit BPOM diperlukan. Pembentukan panitia khusus oleh DPR menjadi langkah yang bisa diambil. Ini bisa menunjukkan adanya upaya serius dalam penanganan kasus gagal ginjal akut.
Akuntabilitas dalam penanganan kasus diperlukan. Al Araf menyebut pemgusutan diperlukan agar seluruh masyarakat bisa mendapat rasa aman dalam berobat. Menurutnya, kasus ini berdampak pada adanya ketenangan dan rasa amana yabg terganggu dalam mengkonsumsi obat di kalangan masyarakat.
"Ini bukan buat keluarga korban saja, tapi masyarakat Indonesia untuk mendapat kepastian bahwa kita mendapat ketenangan berobat. Perjuangan ibu bapak korban bukan hanya untuk dia, tapi juga memastikan tata sistem kesehatan kita bisa menjamin kesehatan secara penuh," pungkasnya.