Jakarta, Gatra.com - Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Manajemen IPB University, Yusman Syaukat, merespon soal polemik rencana impor beras oleh pemerintah di saat klaim produksi surplus. Ia menyebut kondisi saat ini menunjukkan kegagalan negara dalam mengamankan cadangan pangan nasional.
"Kalau cari solusi sekarang ini sangat buruk, terbukti negara enggak punya strategi antisipasi sama-sekali," ujar Yusman dalam diskusi publik Pusat Kajian Pertanian Pangan dan Advokasi (PATAKA) secara virtual, Selasa (29/11).
Ia berujar, seharusnya pemerintah sudah bisa memprediksi dan mengantisipasi krisis pasokan beras seperti sekarang. Berdasarkan data Kerangka Sampel Area (KSA) Badan Pusat Statistik (BPS) selama periode 2019-2022 menunjukkan bulan surplus produksi beras hanya saat Maret, April dan Juli.
"Jadi kalau tidak melakukan pencadangan sekarang, maka ini akan terjadi kekurangan dan neracanya akan negatif," jelasnya.
Adapun ribut-ribut pemerintah soal opsi impor dan klaim surplus didorong oleh menipisnya stok cadangan beras pemerintah (CBP) oleh Bulog. Saat ini stok beras di gudang Bulog dikabarkan tinggal tersisa sekitar 594 ribu ton dari idealnya di kisaran 1,2 juta ton. Sementara Kementerian Pertanian merujuk pada data BPS mengklaim bahwa produksi beras surplus sebesar 1,7 juta ton di akhir tahun ini.
Di sisi lain, Yusman menilai pencadangan beras melalui importasi saat ini juga tidak mudah. Pelbagai negara, kata dia, juga tengah menahan ekspor beras lantaran ingin mengantisipasi krisis pangan di negaranya.
Ia pun menyebut, kejadian debat antara pemerintah menyangkut cadangan beras bukan hal baru. Di sektor hulu dalam hal ini Kementerian Pertanian mengklaim data produksi beras surplus, sementara di hilir mengatakan stok terancam.
"Ini masalah terjadi berulang kali," sebutnya.
Karena itu, ia mendorong agar antar instansi pemerintah menggunakan satu data secara bersama. Terutama terkait data produksi dan konsumsi beras.
"Kenapa selama ini berbeda (data)? karena ada perbedaan kepentingan," ucapnya.
Yusman menekankan bahwa kebijakan yang efektif didorong dari data yang baik. Pemerintah, kata dia, harus sadar diri dan segera mengharmonisasi data menjadi satu. Sehingga perdebatan dalam menyiapkan kebijakan untuk antisipasi dapat diminimalkan.
"Untuk masalah pangan, nggak boleh sembarangan. Harus dipersiapkan jauh hari. Karena beras ini menyangkut kepentingan cadangan pangan dan bersifat politis, tampilkan satu data saja," imbuhnya.
Sebelumnya, Ketua Koperasi Pasar Induk Beras Cipinang (PIBC) Zulkifli Rasyid menuding bahwa data surplus beras yang selama ini diklaim pemerintah tidak nyata. Musababnya, menurut dia, apabila surplus seharusnya saat ini pedagang beras tidak kesulitan untuk mendapatkan pasokan. Karena itu, ia menegaskan bahwa impor beras saat ini bukan menjadi sesuatu yang salah.
"Kita boleh impor saat kita perlu, tapi kita tidak boleh impor saat kita panen dan beras berlebih. Yang kami tahu soal surplus adalah lebih, tapi kenyataannya stok beras berkurang dan menipis," kata Rasyid dalam kesempatan yang sama.