Jakarta, Gatra.com - Ketua Umum PB IDI Dr. Adib Khumaidi, SpOT menyampaikan bahwa penolakan Rancangan Undang-undang (RUU) Kesehatan Omnibus Law merupakan upaya preventif menghindari kerusakan yang berlebihan (collateral damage).
“Apabila RUU kesehatan itu disahkan dan dimasukkan di dalam prioritas Prolegnas, yang menjadi kegelisahan dan kekhawatiran kami ini adalah dalam satu upaya preventif collateral damage yang bisa terjadi, kalau kita tidak melakukan satu upaya pembahasan terlebih dahulu," kata Adib di Kompleks Parlementer DPR RI, Senayan, Jakarta, Senin (28/11).
IDI dengan organisasi profesi kesehatan lainnya, PDGI, IBI, PPNI dan YLKI mencoba mengidentifikasi dan siap untuk memberikan kontribusi dalam apa yang menjadi permasalahan utama yang ada dalam permasalahan kesehatan.
Adib mengatakan pada undang-undang muncul dimana ini berpotensi menjadi sebuah politik, maka ini juga akan mempersulit dan berdampak kurang baik bagi masyarakat. IDI sudah lebih dari dua tahun lalu memberi dukungan kepada pemerintah melalui penanganan pandemi.
Baca Juga: PDSI Dukung RUU Omnibus Law Kesehatan demi Masyarakat
"Jangan kemudian muncul Undang-undang yang menghilangkan peran-peran dari organisasi profesi, dimana organisasi profesi selama ini membantu negara. Untuk siapa? Untuk rakyat Indonesia," tegasnya.
Soal prosesnya masih panjang karena belum tentu RUU dapat disahkan karena ada peran 50 persen legislatif dan juga pemerintah, Adib merespons harus ada pembahasan yang di bahas oleh IDI terlebih dahulu.
"Kita memetakan mengidentifikasi dulu kemudian mencarikan solusi bersama-sama, apakah semua regulasi harus ada undang-undang," tuturnya.
Adib mengingatkan jangan ada undang-undang yang tidak mampu dilaksanakan, bahkan dapat berdampak buruk pada masyarakat.
Baca Juga: Ini Tiga Tuntutan Aksi Tolak RUU Kesehatan Omnibus Law
"Jadi analisa-analisa yang perlu harus kita lakukan adalah tentang urgensi. Apakah ini sebuah urgensi? Membuat sebuah Undang-undang terkait dengan masalah RUU Kesehatan ini," terangnya.
Adib menjelaskan, menurut IDI, di dalam urgensi munculnya RUU kesehatan ini, yang kemungkinan masih bisa dilakukan dengan peraturan menteri, peraturan pemerintah dan IDI siap dan mendukung dalam artian untuk terkait dengan peraturan-peraturan tersebut.
Terkait, RUU Pendidikan Kedokteran, Adib memberi apresiasi. “SDM Dokter, Tenaga Medis, Tenaga Kesehatan. Kalau khusus di dokter, kita sudah melihat bahwa ada proses dan kami mengapresiasi proses yang sudah ada di Baleg terkait dengan RUU Pendidikan Kedokteran,” katanya.
Dr. Adib menambahkan semua proses sudah dilakukan dan hanya mengerahkan tim yang belum turun, sehingga ia mengira RUU Dikdok menjadi satu urgensi dan proses di hulu untuk menyiapkan permasalahan SDM, termasuk kebutuhan dokter spesialis.
Dr. Adib menegaskan RUU Dikdok lebih urgent daripada membuat Undang-undang baru yang mengundang polemik.
Meskipun begitu, kenyataannya revisi RUU Dikdok masih ditunda hingga saat ini, sehingga IDI melihat mengapa Daftar Inventaris Masalah (DIM) belum diturunkan.
Ditanyakan mengapa masih ditahan-tahan oleh Kemendikbudristekdikti, dr. Adib menjawab, “Saya kira saya tidak bisa menganalisa dari sisi mengenai kebijakan negaranya.”
Dengan aksi damai yang digelar di depan gedung DPR RI, Adib berharap dorongan untuk keluarnya DIM untuk RUU Dikdok ini dapat disegerakan.
Dr. Adib mengingat Presiden Joko Widodo sudah mengeluarkan Surat Presiden (Surpres) untuk mempercepat penyelesaian masalah RUU Dikdok tersebut.