Home Ekonomi Proyeksi Nilai Tukar dan Butterfly Effect

Proyeksi Nilai Tukar dan Butterfly Effect

Jakarta, Gatra.com – Suatu ketika, Queen Elizabeth II berkunjung ke London School of Economics (LSE) pada November 2008. Kedatangan Ratu Inggris ini untuk menanyakan kepada para ekonom hebat di LSE terkait krisis keuangan dahsyat pada 2008. Krisis keuangan terbesar sepanjang sejarah.

Pertanyaan Ratu Elizabeth II yang kemudian menjadi headline media utama dunia, seperti The Guardian, Telegraph, New York Time dan lainnya. Pertanyaannya sederhana tetapi mendalam, “Why no one saw the financial crisis coming?”.

Frekuensi krisis keuangan semakin tinggi. Tidak satupun dari krisis tersebut dapat diprediksi secara tepat oleh para ekonom. Proyeksi ekonomi diharapkan sama dengan proyeksi cuaca (weather forcast) yang dapat menentukan kapan akan terjadi hujan atau cerah.

Ekonom senior Ben Bernanke (2009), para ekonom harus bekerja dengan sistem yang sangat kompleks karena menghadapi tekanan bersifat random, ketersediaan data terbatas, dan pengetahuan yang selalu tidak sempurna.

Ahli matematika dan meteorolog, Edward Lorenz (1917-2008), memperkenalkan istilah “butterfly effect”. Dalam membuat proyeksi, sekecil apapun perubahan yang terjadi pada kondisi mula-mula, mempengaruhi hasil akhir.

 

Proyeksi Nilai Tukar

 

Model moneter penentuan nilai tukar menjadi salah satu pendekatan paling populer dalam memproyeksi pergerakan nilai tukar. Pendekatan ini menjadi paradigma paling dominan sejak tahun 1970-an hingga saat ini.

Model moneter dibangun di atas dua fondasi utama, yaitu terpenuhinya kondisi Purchasing Power Parity (PPP) dan Uncovered Interest Rate Parity (UIP). Pada kondisi PPP dan UIP, nilai tukar dinyatakan sebagai selisih harga dan suku bunga antara dua negara.

Kondisi PPP, perubahan kurs rupiah per dolar AS tergantung pada selisih perubahan harga Indonesia dengan AS. Trend inflasi tinggi di Indonesia menyebabkan selisih inflasi Indonesia dengan AS naik. Membuat rupiah per dolar AS terdepresiasi atau melemah.

Sebaliknya, trend inflasi tinggi di AS, membuat rupiah per dolar AS terapresiasi (menguat). Dalam beberapa hari terakhir, kurs rupiah per dolar AS melemah, kursnya naik dari Rp 14.279 per dolar AS (04/01/22) menjadi Rp15.735 per dolar AS (25/11/22).

Kondisi UIP menyatakan bahwa perubahan nilai tukar rupiah per dolar AS tergantung pada selisih suku bunga Indonesia dengan AS. Suku bunga Indonesia diukur dengan suku bunga acuan BI (7 days repo rate). Suku bunga AS diukur dengan Federal Fund Rate (FFR).

Kenaikan suku bunga FFR menyebabkan perbedaan suku bunga Indonesia dengan AS meningkat. Ekspektasi depresiasi rupiah per dolar AS meningkat. Kenaikan FFR diikuti kenaikan suku bunga acuan BI, ekspektasi depresiasi menurun.

 

Kelemahan Model Proyeksi

 

Pergerakan nilai tukar rupiah per dolar AS tergantung pada beberapa indikator makro ekonomi. Atau disebut sebagai faktor fundamental. Baik atau buruknya kondisi fundamental menentukan posisi kurs rupiah per dolar AS.

Meese dan Rogoff (1983), faktor fundamental yang menentukan pergerakan kurs adalah selisih pertumbuhan jumlah uang beredar, pertumbuhan ekonomi, suku bunga, dan keseimbangan perdagangan (trade balance) antara Indonesia dengan AS.

Kenaikan FFR menjadi 3,75-4,0 persen beberapa waktu lalu menyebabkan ekspektasi depresiasi rupiah per dolar AS meningkat. Kenaikan FFR membuat rupiah tertekan, menuju ke titik terendah sepanjang tahun Rp15.573 per dolar AS (25/11/22).

Kenaikan FFR menyebabkan capital outflow. Investor asing menyesuaikan kepemilikan portofolionya, beralih ke asset AS. Kebutuhan dolar AS meningkat. Pendapatan memegang asset AS meningkat. Peralihan ke asset AS juga dipicu oleh fenomena home biased.

Home biased adalah kecenderungan investor untuk berinvestasi pada asset negaranya sendiri, meskipun pendapatan memegang asset negara lainnya lebih besar. Di mana 94 persen investor AS berinvestasi pada asset negaranya sendiri.

Fenomena home biased yang dapat menjelaskan mengapa model moneter penentuan nilai tukar tidak akurat menentukan posisi nilai tukar. Sama seperti meteorolog menentukan kondisi cuaca.

Alhasil, hingga wafat, ratu Elizabeth II belum juga mendapatkan jawaban dari para ekonom atas pertanyaannya: Why did no one see it coming? Ekonom dan ilmu ekonomi harus berbenah secara fundamental. Ingat “butterfly effect” dari Lorenz.

 

 

Oleh:

Muhammad Syarkawi Rauf

Dosen FEB Unhas/ Komisaris Utama PTPN IX Jawa Tengah

 

 

347