Jakarta, Gatra.com – Manager Program Transformasi Energi, Institute Essential Services Reform (IESR), Deon Arinaldo, mengatakan, Pemerintah Indonesia harus membentuk komisi nasional atau gugus tugas.
Deon dalam keterangan pers diterima pada Minggu (27/11), menyampaikan, pembentukan komisi atau gugus tugas tersebut agar kebikakan penghentian operasional PLTU batu bara, khususnya miliki pembangkit swasta (IPP) pada 2040 bisa diwujudkan dengan menerapkan prinsip berkeadilan.
“[Pembentukan] komisi nasional atau gugus tugas melibatkan lembaga pemerintah terkait pada akhir tahun ini,” katanya.
Komisi atau gugus tugas ini, lanjut Deon, mempunyai tugas, antara lain menilai secara komprehensif daftar PLTU yang berpotensi untuk segera dipensiunkan serta melakukan negosiasi ulang dengan produsen listrik swasta.
Ia menambahkan, negosiasi kontrak PLTU antara PLN dan produsen listrik swasta harus dimulai dengan mempertimbangkan potensi biaya tambahan tanpa membahayakan iklim investasi di Indonesia.
“Pemerintah perlu pula menilai mekanisme pembiayaan yang sesuai untuk mempensiunkan pembangkit listrik tenaga batu bara yang dimiliki oleh produsen listrik swasta.
“Mekanisme pembiayaan juga perlu mendukung keterkaitan antara pembiayaan pensiun dini PLTU dengan investasi ke energi terbarukan sehingga dapat memobilisasi dukungan dana internasional,” ujarnya.
Berdasarkan kajian “Financing Indonesia’s Coal Phase out” IESR bersama Center for Global Sustainability, Universitas Maryland, untuk memensiunkan 9,2 GW PLTU batu bara di 2030, Indonesia membutuhkan dukungan pendanaan internasional untuk memenuhi biaya pensiun PLTU, sekitar US$4,6 miliar pada 2030.
Terkait itu, untuk mendukung upaya dekarbonisasi di sektor ketenagalistrikan, Pemerintah Indonesia akan bekerja sama dengan International Partners Group (IPG) untuk mewujudkan rencana investasi dalam rangka mendukung pensiun dini PLTU dan juga teknologi rendah karbon lainnya.
Kerja sama tersebut akan menunjang tercapainya target dekarbonisasi sistem kelistrikan Indonesia, antara lain mencapai puncak emisi sektor kelistrikan sebesar 290 juta ton CO2 pada tahun 2030, menyiapkan proyek-proyek PLTU yang harus dipensiunkan lebih awal, serta memastikan capaian bauran energi terbarukan sebesar minimal 34% pada tahun 2030.
Terkait upaya mendukung penghentian operasi PLTU batu bara ini, kata Deon, IESR telah melakukan deklarasi Inisiatif Transisi Energi Berkeadilan oleh Produsen Listrik Swasta Indonesia bersama Asosiasi Produsen Listrik Swasta Indonesia (APLSI).
Adapun poin-poin deklarasinya, yakni mendukung Peta Jalan Transisi Energi Berkeadilan di Indonesia. Siap melakukan transformasi agar tetap dapat berkontribusi dalam kelistrikan nasional yang mandiri semakin ramah lingkungan dan berkelanjutan demi mendukung target net zero emission.
Mendukung rencana pemerintah Indonesia dan kebijakannya yang mendorong dekarbonisasi dan transisi energi. Melakukan diversifikasi investasi pembangkit listrik dari berbagai alternatif sumber energi yang bersifat terbarukan yang potensinya sangat besar di Indonesia.
Berkomitmen membuka kesempatan sumber energi ramah lingkungan terbarukan dan ekosistem pasokan energi yang berkelanjutan. Mengoptimalkan peran swasta sebagai mitra pemerintah dalam membangun sistem kelistrikan yang handal dan transisi energi dijalankan secara berkeadilan (just energy transition).
Sementara itu, Direktur Teknik dan Lingkungan Ketenagalistrikan pada Direktorat Jenderal (Ditjen) Ketenagalistrikan KESDM, Wanhar, menjabarkan peta jalan pengakhiran masa operasional PLTU batubara di Indonesia.
Menurutnya, pemerintah juga melakukan berbagai langkah untuk mencapai target NZE 2060 di antaranya, memastikan pengakhiran masa pengoperasian PLTU yang dimiliki oleh produsen listrik swasta setelah perjanjian jual beli (PPA) selesai, mengakhiri masa pengoperasian PLTGU setelah berumur 30 tahun.
Selanjutnya, mulai tahun 2030 terdapat pembangunan PLTS yang semakin masif, disusul PLTB, baik di darat maupun di lepas pantai mulai tahun 2037. Namun demikian, ia menegaskan, ada beberapa ketentuan yang perlu dipenuhi dalam melakukan pengakhiran masa operasional PLTU batubara di Indonesia.
“Pensiun PLTU hanya dapat dilakukan saat adanya kepastian keandalan jaringan, dengan substitusi dari pembangkit energi terbarukan dan atau instalasi sistem transmisi,” ujarnya.
Menurut Wanhar, adanya kepastian terlaksananya transisi energi yang adil dengan tidak adanya dampak sosial yang negatif dari pensiun dini, harga pembangkit energi terbarukan yang terjangkau, dan ketersediaan dukungan pembiayaan internasional.
Direktur Eksekutif IESR, Fabby Tumiwa, mengharapkan, Deklarasi Transisi Energi Berkeadilan ini dapat memberikan sinyal positif bagi kepemimpinan Pemerintah Indonesia di G20 yang juga menyoroti transisi energi atau peralihan dari energi yang polutif menuju energi terbarukan sebagai salah satu isu utama.
“Kepemimpinan Indonesia dalam melakukan pensiun dini PLTU untuk mengakselerasi transisi energi akan menciptakan preseden baik bagi negara G20 lainnya,” kata dia.
Fabby menambahkan, semangat untuk akselerasi pengakhiran pengoperasian PLTU melalui deklarasi Produsen Listrik Swasta yang didukung oleh pemerintah dan PLN akan menjadi contoh bagi India, yang akan memegang kepresidenan G20 pada 2023.
“[Ini juga] menjadi contoh bagi negara ASEAN lainnya dalam kepemimpinan Indonesia di ASEAN pada 2023,” tutup Fabby.