Home Sumbagsel Kian Diminati, Kain Pelangi Palembang Memiliki Filosofi Mendalam

Kian Diminati, Kain Pelangi Palembang Memiliki Filosofi Mendalam

Palembang, Gatra.com - Palembang hanya dikenal dengan kain songket, adalah anggapan keliru. Pasalnya, Kota Pempek juga kaya akan ragam kain khas, salah satunya kain pelangi atau jumputan.

Eksistensi kain pelangi atau jumputan sebagai warisan kekayaan budaya lokal di Provinsi Sumatera Selatan (Sumsel) hingga saat ini masih terus beriringan dengan kain-kain kebangsawanan lainnya di Bumi Sriwijaya, seperti kain songket, sewet tajung, dan semage.

Lahir pada ratusan tahun lalu, masyarakat di Sumsel, khususnya di Kota Palembang masih terus menjaga serta melestarikan kain pelangi dalam kehidupan sehari-hari.

Pemerintah Kota Palembang juga menempatkan pengrajin kain pelangi atau jumputan di sebuah kampung bernama Sentra Kain Jumputan di Jalan Tuan Kentang, Palembang.

Sofyan Candra, Ketua Pengrajin Kain Pelangi di sepanjang kelurahannya, sangat mahir mengaplikasikan pengetahuan dalam mengukir beragam pola khas, seperti titik tujuh, yin yang, kelereng, tabur bintang serta motif lainnya dengan menggunakan alat-alat sederhana beserta mesin cetak motif yang beberapa tahun sudah menemaninya bersama para pengrajin kain pelangi di kawasan ini.

"Sebetulnya yang biasa disebut kain jumputan oleh warga Palembang ini bernama asli kain pelangi, sedangkan jumputan merupakan teknik yang dilakukan para pengrajin yang juga dinamai teknik ikat celup," katanya kepada Gatra.com, baru-baru ini.

Sofyan mengatakan, sebanyak 70 persen masyarakat di Kota Palembang telah mengenakan kain pelangi atau jumputan dalam kehidupan sehari-hari. Fakta ini menjadi salah satu pendongkrak dari kelestarian kain yang memiliki kekayaan motif tersebut.

Peran pemerintah dan pegiat seni di Palembang tentunya menjadi bagian terpenting dari promosi dan penggunaan yang mulai ramai dilakukan masyarakat saat ini.

"Hampir 70 persen masyarakat modern di Palembang sudah banyak yang mengenakan kain pelangi, ini dikembalikan lagi seperti fungsi awalnya sebagai daily wear," ujarnya.

Kendati kain ini sudah hampir 70 persen digunakan oleh masyarakat, khususnya Kota Palembang, Sofyan memiliki kekhawatiran tersendiri. Ia merasa pemaknaan dari kain pelangi belum banyak yang tersampaikan kepada banyak orang.

"Peminatnya semakin meningkat, tapi bagaimana dengan pemaknaan dari kain pelangi itu sendiri? Padahal ini sangat penting untuk diketahui masyarakat Palembang tentang apa filosofinya dan bagaimana teknik pembuatannya, sehingga dalam perayaan event-event besar di sini, kain ini bisa menjadi tuannya," ungkap dia.

Sebagai pengrajin, Sofyan lebih suka menyebut Provinsi Sumsel sebagai salah satu markas kebudayaan yang perlu untuk ditelusuri secara luas dan lebih dalam terkait peninggalan-peninggalan leluhur yang ada, sehingga nantinya warisan budaya, khususnya kain yang ada tidak mudah untuk diklaim oleh negara-negara lain.

Dari sini, ia mulai menceritakan pemaknaan mendalam yang terdapat dari setiap inci ke inci pola dan motif yang tertuang pada kain-kain polos sehingga menjadi sebuah kain cantik yang disebut kain atau sewet pelangi.

"Jadi filosofinya pada satu kain pelangi itu, pola-pola serta motifnya menggambarkan bentang alam atau geografis di Provinsi Sumsel yang terdiri dari lekukan sungai, dongeng tujuh bidadari, dan tentang keindahan tumbuhan atau perkebunan yang ada. Sehingga ketika kita menggunakannya, ini serasa Sumsel ada di tubuh kita," jelasnya.

Tidak hanya itu, pada kain pelangi yang terus mengalami perkembangan sesuai tantangan zaman, diakuinya masih turut mempertahankan sejumlah motif-motif yang menjadi peninggalan leluhur seperti yang telah disebutkan di atas, yakni titik tujuh, yin yang, motif terong, tabur bintang, dan kelereng.

"Semakin ke sini atau semakin maju kita mulai melakukan modifikasi, seperti pewarnaan yang sudah tidak bertabrakan, tidak ngejreng dan lebih soft sesuai permintaan kepada para pengrajin, akan tetapi motif lawas juga masih kami pertahankan," ucapnya.

Saat kembali ditanyai terkait pembeda dari kain pelangi terdahulu dan saat ini di luar dari motif dan pola yang ada, Sofyan mengatakan, kain pelangi yang ada sekarang dan dahulu terus mengalami transformasi. Dahulunya, tekstur kain pelangi terlihat lebih hidup alias timbul mengikuti ikatan dari jumputan itu sendiri.

"Jadi bekas ikatan pada kain itu akan terlihat runcing. Selain itu, prosesnya juga berbeda, kalau dahulu dari kain sutera yang ditenun dalam 1 bulan kita hanya akan mendapatkan 30 meter bahan saja, jadi lama sekali. Sedangkan sekarang sudah bisa dibantu dengan tenaga mesin, bahkan kita tinggal buat pola kemudian dicelupkan," bebernya.

Pembaruan itulah saat ini diketahui sudah sampai menembus pasar nasional bahkan hingga internasional yang seharusnya membuat masyarakat daerah Palembang turut bangga dengan produk lokalnya.

"Penjualan sendiri sudah sampai Jakarta, Spanyol, dan Malaysia. Tentunya, ini menjadi program dari pemerintah juga yang terus membantu para pengrajin seperti kami," ungkapnya penuh rasa bangga.

Tak semulus itu, ternyata tantangan yang turut mengiringi pertumbuhan pasar dari kain pelangi, yaitu mulai menjamurnya para pengrajin kain di berbagai provinsi di Indonesia, salah satu yang menjadi pesaing berat, menurut Sofyan, yaitu kain batik khas Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY).

"Tantangan jumputan saat ini bukan antarpengrajin di Sumsel sendiri akan tetapi sudah antarprovinsi, mengingat Indonesia ini memiliki banyak sekali warisan budaya dari nenek moyang masing-masing, maka seluruh pengrajin di Indonesia terlebih saat ini batik Daerah Istimewa Yogyakarta masih besar peminatnya," ujar dia.

Terakhir, ia berharap agar ke depannya anak muda bisa berpartisipasi secara penuh dengan memanfaatkan media sosial sebagai wadah promosi dari kain-kain khas Sumsel, sehingga penggunaan kain tradisional ini tidak hanya pada rentang usia 25 tahun ke atas saja.

"Harapannya, anak muda juga ikut membantu mempromosikan kain jumputan ini, dengan menggunakannya dan memberi masukan motif seperti apa yang bisa memiliki daya jual tinggi, sehingga pengrajin kaya akan pengetahuan itu sendiri untuk mengejar pasar jumputan ini," pungkasnya.

1940